Rio Bunet

My online blog

Khasanah Flora Fauna Kita

 

Flora fauna kita adalah bagian penting dari keanekaragamanat hayati Indonesia. Seringkali keberadaan mereka luput dari perhatian kita. Artikel dalam bab ini dikumpulkan dari pengamatan lapangan plus catatan dari teman-teman di daerah mengenai pengetahuan mereka, studi literature dan diskusi dengan berbagai narasumber yang kompeten. Adapula yang sifatnya mencuplik dari berita-berita dan informasi tentang flora fauna itu dari berbagai sumber, media dan laporan penelitian.

 

  • Buah Merah
  • Bekantan yang Semakin Rentan
  • Kuda
  • Rumput Kebar Rumput Masa Depan?
  • Lontar si Pohon Gula
  • Brasil Punya Karet Tim Samba Punya Nama
  • Si Komo Reptil Purba Raksasa
  • Mallika & Essential

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Buah Merah

 

Buah merah, begitu namanya disebut karena warnanya memang merah. Buah yang banyak ditemui di Papua dan sebagian Maluku itu termasuk keluarga pandan-pandanan atau Pandanaceae. Buahnya seperti cempedak, di Papua dikenal sebagai bahan pangan atau bila diproses minyaknya dapat digunakan sebagai minyak goreng. Pandanus conoideus Lam adalah nama ilmiahnya, merupakan tanaman khas di daratan Papua dengan berbagai sebutan lokal seperti sauk eken (Wamena), kain (suku katengban), kaef (suku Naglum), bitam (Timika)

 

Buah merah, mendadak mahsyur setelah temuan ahli gizi Univeristas Cenderawasih, Drs. I Made Budi disiarkan di Metro TV pada akhir tahun 2004. Beritanya sangat sensasi, buah merah dapat meningkatkan daya tahan tubuh seorang penderita HIV positif. Sejak itu berbagai tulisan tentang buah merah ramai dipulikasikan.

 

Kandungan buah merah kaya zat antioksidan. Zat yang dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh itu punya banyak kandungan antioksidan seperti karoten, beta karoten, dan tokoferol. Betakaroten misalnya berfungsi memperlambat penumpukan flek pada pembuluh arteri, membuat aliran darah lancar dari jantung ke otak. Bersama protein, betakaroten meningkatkan jumlah sel alami pembasmi penyakit dan memperbanyak aktivitas sel T Helpers dan limposit yang menjaga daya tahan tubuh (Tempo, 21 Maret 2005).

 

Majalah pertanian Trubus menulis berulangkali khasiat buah merah itu lengkap dengan kisah sukses para pasien yang sembuh berkat ekstrak buah merah.Trubus, kemudian juga menyelenggarakan seminar khusus buah merah dan mengundang Drs. I Made Budi sebagai nara sumber utama acara itu di Jakarta pada April 2005.

 

Publikasi yang gencar tentang kehebatan buah merah itu, telah meningkatkan perdagangan buah merah dalam pasar obat herbal. Berbagai merek dan kemasan ekstrak buah merah dipromosikan hingga tersebar dari Tangerang, Jakarta sampai Tajur, Bogor. Sebuah pabrik yang sukses mengolah mengkudu pun tergiur memproduksi ekstrak buah merah itu. Agaknya keinginan dan harapan banyak masyarakat kita akan obat ampuh itu semakin besar, padahal harganya tidak termasuk murah, Rp 200 ribu untuk ukuran botol kecil.

 

Apakah benar khasiat buah merah dapat menyembuhkan penyakit ? Majalah Trubus edisi Maret menyajikan berita tentang penderita yang tidak tertolong setelah mengkonsumsi buah merah itu. Berita pro dan kontra buah merah pun menjadi headline di majalah itu (lihat Trubus edisi Maret 2005). Bahkan ditengarai sudah ada produk ekstrak buah merah yang dicampur minyak goreng, atau diolah dengan cara yang kurang tepat.

 

Menurut ahli farmakologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. Frans Suyatna PhD yang dikutip majalah Tempo (21/3), menyatakan fenomena itu perlu disikapi dengan bijak. Pasalnya uji klinis buah merah untuk menyembuhkan penyakit belum benar-benar diteliti. Padahal uji klinis dibutuhkan untuk mengetahui dosis dan toksisitas kata Prof Dr. Sidik Guru Besar Farmasi UNPAD seperti dikutip Trubus.

 

Lain lagi pendapat Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo dosen luar biasa di Fakultas Universitas Indonesia, dalam acara Simposium Nasional bertema “Obat Herbal Indonesia, Aman, Efektif dan Berkualitas” di Jakarta, Jumat (11/3) “dana yang dibutuhkan untuk sebuah uji klinis obat di rumah sakit terbilang besar, hingga ratusan juta rupiah”. Akibatnya, menurut peneliti lainnya dalam Simposium itu, ketika sebuah obat telah melalui uji klinis dan diproduksi massal, harganya menjadi mahal. Tidak mengherankan bila akhirnya para pengusaha obat herbal mengurungkan niatnya untuk uji klinis. Padahal, potensi obat herbal di Indonesia luar biasa apabila serius dikembangkan (Kompas, 12 Maret 2005).

 

Terlepas dari semua persoalan itu, pemanfaatan buah merah sebagai obat herbal meningkat pesat saat ini. Bila biasanya buah merah hanya dikonsumsi masyarakat Papua, kini seluruh masyarakat Indonesia berburu mencarinya. Bukan tidak mungkin kondisi itu membahayakan keberadaan Pandanus Papua itu. Selain masih diambil dari alam, buah merah belum banyak dibudidayakan. Kekuatiran buah merah akan punah bukan mustahil terjadi, bila eksploitasi buah merah karena meningkatnya permintaan pasar tidak diimbangi dengan upaya melestarikannya.

 

Kekuatiran akan punahnya buah merah, telah mendorong Nicholaas Maniagasi seorang putra Serui Irian Jaya untuk melestarikan buah merah dengan membudidayakannya. Upayanya itu telah mendapat pengakuan dari Yayasan KEHATI pada acara penganugerahan KEHATI Awards 2002. Atas  prakarsanya itu Nicholaas mendapat insentif berupa trophy penghargaan dan hadiah.

 

Upaya I Made Budi juga perlu mendapat apresiasi karena telah mempromosikan potensi buah merah sebagai kekayaan hayati Indonesia. Masih diperlukan penelitian panjang dan dukungan pemerintah untuk mengangkat buah merah sebagai obat masa depan dari Indonesia, agar buah merah tidak hanya menjadi buah bibir saja [*]

 

 

 


Bekantan yang Semakin Rentan

 

Bekantan adalah primata endemik dari Kalimantan. Monyet bule berhidung mancung itu menggemaskan karena wajahnya yang lucu, ia menjadi maskot di taman hiburan Dunia Fantasi, Jakarta. Di Taman Safari Indonesia, Cisarua, boneka bekantan dijajakan sebagai suvenir. Sementara itu, patung-patung bekantan bergelayutan di pohon diabadikan monumen di kawasan jalan Taman Sari di kota seribu sungai, Banjarmasin. Bekantan memang menarik dan menawan hati, tetapi tidak begitu dengan keberadaannya yang semakin rentan dan terancam punah di belantara Borneo.

 

Di habitatnya di hutan Kalimantan, bekantan yang mempunyai nama ilmiah Narsalis larvatus, populasinya diperkirakan hanya 15.000 ekor saja. Dari tahun ke tahun populasinya terus mengalami penurunan. Kongres Primata se Asia Tenggara 2005 di Jakarta memaparkan, akibat penggundulan hutan dengan laju 3,49% pertahun bekantan telah berada di ambang kepunahan (Kompas, 3 April 2005)

 

Bekantan termasuk salah satu jenis primata Indonesia yang langka dan dilindungi. Tidak tanggung-tanggung, bekantan dilindungi tiga Surat Keputusan dan UU pelestarian satwa liar, yaitu PP Satwa Liar no. 266/1931, SK Menhut No. 301/Kpts-II/1991, dan UU no. 5/1990. Bekantan juga dimasukan appendix 1 CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang artinya dilarang diperjualbelikan, baik di dalam mupun luar negeri. Tapi toh keberadaan bekantan tetap terancam, karena berbagai aktivitas yang merusak habitatnya, maupun perburuan liar (Kongres Primata, Yogyakarta, 2000).

 

Selain rusaknya habitat, bekantan juga diburu oleh masyarakat. Saat penulis berada di Desa Teluk Sampudau, di Sungai Barito, Kalimantan Tengah, salah seorang petani karet desa itu mengatakan, bekara (sebutan lokal bekantan) diburu untuk dijadikan umpan ular sanca oleh masyarakat. Motif perburuan itu dipicu oleh maraknya perdagangan kulit ular untuk industri sabuk dan tas di Banjarmasin. Bahkan di Buntok, daging bekantan dapat ditemui di pasar, dijual sebagai umpan ular.

 

Lain lagi cerita dari Teluk Adang dan Teluk Apar, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Cagar alam yang merupakan surga bakau dan bekantan itu, kini hancur terbengkalai hanya menyisakan keping-keping hutan bakau saja. Selain karena adanya perubahan fungsi lahan dan peruntukan tataruang yang tumpang tindih, di wilayah itu dipadati 21.000 penduduk, pelabuhan batu bara, minyak kelapa sawit dan pelabuhan umum nasional Tanah Grogot. Merosotnya luas hutan mangrove itu sudah pasti menjadi ancaman bagi populasi bekantan di wilayah itu (Tempo, Maret 2005)

 

Sangat ironis, bekantan yang hanya ada di Kalimantan itu, terus menerus diganggu dengan berbagai modus tanpa ada upaya perlindungan yang serius dari pemerintah. Bila undang-undang yang melindunginya tidak lagi dapat mempertahankan keutuhan populasinya, maka semakin rentan saja kehidupan bekantan di habitatnya.

 

Menurut Kompas (5/3/05) setiap tahun ada tambahan sekitar 3,8 juta hektar hutan yang dirusak. Bila laju perusakan hutan (deforestasi) seperti sekarang ini, hutan tropis di seluruh Kalimantan diperkirakan punah di tahun 2010. Artinya kita tinggal menghitung hari datangnya kepunahan bekantan itu. Beberapa tahun lagi kita hanya dapat menyaksikan patung dan bonekanya saja.[*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rumput Kebar, Rumput Masa Depan ?

 

Rumput kebar [Biophytum petersianum Klotzsch] begitu tumbuhan liar itu disebut, berasal dari lembah Kebar yang tersohor di Manokwari, Papua Barat. Walaupun disebut rumput, perawakan tumbuhan ini jauh dari bentuk rumput yang kita kenal. Daunnya hijau agak membulat dan merupakan tumbuhan perdu.

 

Menurut penelitian Agnes Imbri dari Universitas Papua, rumput kebar dengan populasi tertinggi berada di daerah kebar tengah dan timur berasosiasi dengan tumbuhan perdu lainnya Paspalum conjugatum dan si ilalang Imperata cylindrica. Rumput kebar tumbuh pada tanah ber permeabilitas sedang dan PH tanah agak masam [5,6 – 4,6]. Syarat hidup lain dari rumput kebar, curah hujan rata-rata 2.383 mm/tahun dengan suhu 26,7 derajat Celsius dan intensitas matahari 64,87 lux pada ketinggian 500-600 m dpl.

Bagi yang sudah mengenal mithos rumput kebar,kemudian memesannya pastilah untuk tujuan agar “cepat” diberi keturunan. Biasanya buahtangan itu diberikan kepada rekan perempuan yang baru menikah atau  bagi pasangan yang sudah lama menginginkan keturunan.

 

Ada juga mereka yang meminum ramuannya dan tidak pernah benar-benar membuktikan kasiatnya,alias hanya ikut-ikutan mithos orang Papua saja, “Yah, namanya juga usaha”, begitu suatu kali seorang teman berkomentar.

 

Mitos itu boleh jadi sebentar lagi akan runtuh oleh kegigihan seorang biolog dari Universitas Muhammadyah Malang. Adalah Sukarsono MSc yang awalnya tertarik kisah rumput kebar dari perbincangan rekan-rekan mitra KEHATI pada acara pertemuan “Belajar Bersama Masyarakat” [Loka tulis dan Shared Learning]. Ia pun berkeinginan menelitinya untuk membuktikan pengetahuan lokal dari Manokwari itu.

 

Tak hanya itu, obsesi pribadinya untuk meneliti kekayaan hayati melalui pendekatan riset berbasis masyarakat itu ia tuangkan  bersama teman-teman lsm lainnya dalam forum Shared Learning itu. Intinya bagaimana penelitian dapat mendukung upaya konservasi biodiversitas dan melindungi indigenous knowledge dari ancaman biopiracy di era globalisasi. Bukan cuma untuk memanfaatkan hasil riset untuk kepentingan industri semata.

 

Singkat cerita, rumput kebar pun dipesan, dikirim langsung dari Manokwari. Pengiriman agak lama, “banyak orang yang pesan, jadi harus antri, harganya pun sudah naik” kata Mujianto dari lembaga lokal PERDU yang mengirimkan pesanan itu ke Malang. Penelitian dimulai.

 

Berbulan-bulan sudah berlalu sampai datangnya SMS datang di sepotong siang. Pesan itu berbunyi: “Alhamdulillah mas, penelitian rumput kebar hampir selesai. Penelitian menunjukkan hasil nyata rumput kebar mampu menipiskan lapisan uterus yang menentukan suksesi sel telur melekat” Pesan singkatnya masih diembel-embeli, “doakan semua lancar ya.., dana riset masih saya usahakan mandiri

 

Bila penelitiannya terbukti, boleh jadi mithos rumput kebar untuk membantu kehamilan bisa mendapat dukungan ilmiah. Indigenous knowledge orang Papua tentang rumput kebar harus dilindungi adalah semangat seorang Sukarsono, juga semangat semua orang yang masih mau menghargai budaya orang Papua. Kegigihan dan kepeduliannya patut kita hargai, dan seharusnya memberikan kekuatan bagi siapa saja untuk melestarikan dan melindungi kekayaan hayati milik bangsa ini.[*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Lontar si Pohon Gula

 

 

Mungkin belum banyak yang tahu, pohon lontar telah memberikan kehidupan bagi orang Rote dan Sabu. Gula nira hasil penyadapan selain bernilai ekonomis, juga merupakan makanan pokok mereka. Lontar juga tumbuhan serbaguna dan jadi sumber penghidupan utama di ke dua pulau yang beriklim kering itu. Batangnya dibuat bahan papan, pelepahnya dibuat dinding rumah dan kayu bakar, daun untuk atap, dan perdagangan gula nira hingga ke luar pulau telah terbukti mampu membiayai sekolah anak-anak di Rote dan Sabu.

 

Lontar [ Borassus sundaicus Beccari] adalah tanaman penghasil gula paling efisien di dunia. Lontar termasuk tanaman berkelamin ganda. Mayang jantan muncul dari pucuk lontar berupa tunas-tunas bercabang tajam berpasangan. Mayang betina menghasilkan tandan-tandan berisi buah. Buah lontar di luar Rote dan Sabu dikenal dengan nama siwalan, terutama di Jawa. Di Jawa, buah lontar lebih banyak di panen dibandingkan disadap niranya. Sebaliknya buah siwalan jarang ditemui di Rote dan Sabu akibat penyadapan nira yang memotong mayang jantan sehingga tidak menghasilkan buah.

 

Buah lontar atau siwalan termasuk sulit didapat di Indonesia, kalaupun ada tidak dijajakan secara khusus seperti pada musim buah durian atau rambutan. Buahnya kenyal dan manis hampir seperti kolang-kaling. Di Jakarta setahu penulis siwalan dijajakan di daerah Pasar Baru dan Ancol. Di  pasar-pasar tradisional di Jakarta sulit dijumpai penjaja siwalan, terlebih lagi di supermarket. Sebaliknya, kabar dari seorang teman, Thailand malah sudah mengalengkan siwalan sebagai komoditi ekspornya.

 

Pohon lontar disebut Due dalam bahasa Sabu, buah mudanya disebut Wohiru, dan buah yang telah tua disebut Wokeli. Pengambilan nira adalah proses memotong untaian bunga jantan setahap demi setahap setiap hari. Dalam dua bulan dapat dihasilkan nira sebanyak 3-5 liter, bahkan seorang yang ahli memanen dapat menghasilkan 10 liter perpohon. Penyadap nira yang terampil dapat menyadap dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa ia harus turun dari pohon.

 

Menurut penelitian James Fox, praktek pengambilan Nira di Rote menghasilkan jumlah nira yang beragam selama satu musim. Namun jumlah nira sangat ditentukan oleh jumlah mayang yang disadap. Sebatang lontar dengan lima mayang mampu menghasilkan 6,7 liter nira sehari atau 47 liter seminggu. Diakhir masa penyadapan sebatang pohon lontar dengan satu mayang masih dapat menghasilkan nira 2,25 liter perhari atau 15 liter seminggu.

 

Hasil gula nira di Sabu disebut Donahu, sedangkan setelah dimasak hingga menjadi gula padat disebut Domegeru. Cara masak nira orang Sabu dan Rote tidaklah sama. Orang Sabu memasak lebih lama, sehingga gula menjadi lebih hitam dan kental, sedangkan orang Rote memasak nira dengan perubahan hanya 15% saja.

 

Perbanyakan pohon lontar kebanyakan terjadi secara alami. Biji yang tua dibiarkan di sekitar pohon, lalu terbawa aliran air ketika hujan, atau dibawa hewan liar, dan tumbuh pada tempat-tempat di sekitar kebun. Adapula orang mengambil bibit itu lalu menanamnya ditempat yang ia kehendaki. Pada usia 5 tahun lontar baru siap di panen. Umur pohon lontar sangat panjang. Seorang Sabu yang saya temui, Matheus Liwerohi, mengatakan bahwa ia mewarisi kebun lontar yang telah berusia tiga generasi sejak jaman kakeknya, dan hingga kini masih diambil niranya.

 

Gula nira kental merupakan bahan pangan yang umum dikonsumsi orang Sabu dan Rote. Jagung atau rebusan daun singkong atau sayur-sayuran lainnya cukup “dicolek” seperti makan lalap dan sambal. Minumnya pun air nira. “Badan jadi sehat dan bertenaga”, kata Matheus menyakinkan saya.

 

Selain diolah sebagai gula padat, nira juga dibuat minuman tuak atau disebut sopie. Nira dicampur air dan bahan-bahan akar tumbuhan tertentu direndam satu malam dan ditutup rapat agar terjadi fermentasi. Kemudian hasilnya disuling [direbus dalam nyala api kecil dan uapnya dialirkan melalui pipa dan ditampung].

 

Cuka nira juga dibuat orang Sabu dan Rote. Cara membuatnya lebih mudah lagi. Cukup masukan nira dalam wadah semacam jerigen dan ditutup rapat hingga satu bulan. Cuka nira ini merupakan bumbu yang sedap untuk memasak. Ikan sebelum digoreng cukup dicelup nira.  Cuka nira hanya dibuat untuk keperluan memasak keluarga, karena waktu pembuatan yang cukup lama tidak segera menghasilkan uang, bila dibandingkan dengan memproduksi air nira atau gula.

 

Begitu cintanya orang Sabu pada Lontar, hingga Matheus yang telah merantau puluhan tahun di Kupang, selalu teringat syair dari kampung halamannya “ Bole belo raidi raihu,  Rai due nga donahu” yang artinya kurang lebih “jangan lupa tanahair tanah Sabu yaitu tanah nira dan gula”.[*]

 

 

 

 

 


Brasil Punya Karet, Tim Samba Punya Nama

 

 

Hevea Brasiliensis adalah nama latin dari tumbuhan getah karet. Dari namanya kita tahu bahwa tumbuhan karet berasal dari Brasil, negara Mega Biodiversity seperti Indonesia. Getah karet punya sejarah panjang bagi persepakbolaan di Brasil. 

 

Konon dahulu, getah karet disadap dan secara tradisional dibuat bola dengan cara getah yang mengental dililitkan pada sebatang tongkat, kemudian dibakar hingga mengembang. Salah satu ujungnya ditarik dan ditiup sehingga menggelembung menjadi bola. Ujung yang ditarik tadi diikat-simpul untuk mencegah udara keluar. Dari sanalah kaki-kaki manusia menendang-nendang bola sambil menari samba sehingga tercipta ritme paling fantastis di lapangan sepak bola. Dan sejarah mencatat Brasil telah 5 kali merebut piala dunia sepakbola itu. Bola karet telah menginspirasi orang Brasil sebagai pemain bola kelas dunia.

 

Havea brasiliensis juga tumbuh dan ditanam di Malaysia, Indonesia melalui sejarah yang panjang. Adalah Henry Wickham dan Henry Ridley dua orang berkebangsaan Inggris yang bekerja pada industri getah karet berhasil mendapat ijin pemerintah Brasil mengirim 70 ribu biji karet ke negeranya setelah berhasil disemaikan di Key Botanical Garden Inggris pada akhir abad 19. Tidak hanya sampai di situ benihpun dikirimkan ke Singapore Botanical Garden. Ridley kemudian memperkenal tanaman itu di Malaysia ketika ia menjabat sebagai pimpinan perusahaan industri karet di Malaysia.

 

Di Indonesia, karet dikenal melalui Sumatera dengan sebutan sebagai pulau perca, mungkin karena letaknya yang berdekatan dengan Malaysia sehingga karet turut dikebunkan di Sumatera. Selain karet yang berasal dari Brasil, Indonesia tidak kalah dalam hal “memiliki” tumbuhan getah atau resin seperti gondorukem, damar (Dipterocarp sp.), kopal (Agathis sp.), jelutung (Deyra sp.), jernang (Daemonorops draco), ketiau (Ganua motleyana), hangkang (Palaquium leicocarpum), perca (Palaquium gutta) and kemenyan (Styrax sp.).

 

Salah satu potensi tumbuhan getah karet kita adalah jelutung [Dyera spp] dari Kalimantan. Jelutung merupakan salah satu pohon raksasa dengan diameter batang mencapai 240 cm dan tinggi lebih dari 45 m, berbatang lurus dengan percabangan pertama dimulai pada ketinggian 30 m. Jelutung tumbuh di Jambi, Riau, Sumatera Utara disebut Abuwai dalam bahasa setempat. Di Kalimantan di tersebar di Kalbar, Kalteng dan Kalsel dikenal dengan nama lain Pantung.

 

“Jelutung merupakan pohon dwiguna yang konservasionis dan menghidupi” demikian siaran pers Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Bp. Transtoto Handadhari. Selain diambil karetnya mutu kayunya juga sangat baik bersifat lunak berwarna putih dengan tekstur permukaan agak rata. Getahnya merupakan bahan industri perekat, vernis, ban, water proofing, cat dan bahan isolator.

 

Sayangnya tidak tertulis dalam sejarah Indonesia, apakah karet Jelutung juga pernah dibuat bola dan dimainkan di kampung-kampung seperti di Brasil? Ada hubungannya atau tidak, yang jelas Tim Nasional sepak bola Indonesia belum dapat berprestasi di ajang Piala Dunia.[*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Si Komo Sang Reptil Purba

 

 

Si Komo hewan purba ini tak lain adalah Komodo [Vanarus komodoensis], reptile purba raksasa yang hidup di beberapa pulau di Kawasan NTT. Pulau Komodo adalah salah satunya yang dikenal dan melegenda sebagai tujuan wisata yang paling prestisius. Namun komodo juga ada di habitat alami lainnya seperti di P. Rinca dekat Labuanbajo dan di salah satiu gugus kepulauan 17 di Riung Flores. Komodo termasuk satwa carnivore dan kanibal. Ia mampu menjatuhkan lawannya dengan sabetan ekornya dan racun di liurnya.

 

         Bagi petualang sejati, mengunjungi Ora sebutan lain Komodo lebih asyik di P. Rinca, dibandingkan P.Komodo karena di sana menonton reptil buas itu sudah menjadi atraksi rutin, sehingga umpanpun selalu disiapkan pengelola Taman Nasional agar kebuasan Komodo berebut mangsa dapat diabadikan para wisatawan. Berbeda dengan di P. Rinca, komodo liar bebas mencari mangsanya, antara lain kawanan kerbau liar, rusa, kuda, monyet dan tak terkecuali manusia!. Pengunjung akan diperiksa lebih dulu sebelum memasuki pulau itu. Mereka yang kedapatan mempunyai luka atau bagi wanita yang haid, dilarang keras melanjutkan perjalanan mengelilingi pulau itu. Konon si reptil purba itu dapat mencium darah dari puluhan kilometer dengan menggunakan lidahnya.

 

         Memasuki habitat komodo di Rinca seperti bermain dalam program fear factor, karena bukan tidak mungkin pengunjung dikejar-kejar komodo atau bertemu di jalan setapak yang sempit sehingga benar-benar mendebarkan jantung. Di pintu masuk kawasan P. Rinca, puluhan komodo kecil dan sedang sudah mengumpul di beberapa tempat. Jagawana yang menjadi guide hanya berbekal sebilah kayu yang ujungnya bercabang seperti huruf Y. “Senjata ini lebih ampuh pak, kata jagawana yang mengawal saya kala itu” Bila ada komodo yang tiba-tiba menyeruduk, tongkat itu cukup disanggahkan di leher Komodo untuk menghalau reptil itu.

 

         Bicara soal Komodo, banyak hal menarik yang dapat kita ketahui. Pertama, ia adalah hewan endemik Indonesia, artinya komodo hanya ada di Indonesia,khususnya di NTT lebih khusus di P.Komodo. Dari sisi biologi,keberadaaannya di pulau yang terisolir ini ia disebut juga relic, yaitu ia bertahan dari isolasi sehingga spesies ini menjadi sangat adaptif di lingkungannya, dan ia berubah sedemikian rupa sehingga wujud tampaknya menjadi sangat khas.

 

Kedua, dari sisi kepercayaan local, komodo diyakini masyarakat di P. Komodo dan Rinca awalnya dilahirkan oleh manusia, yaitu bayi berwujud buruk rupa sehingga ia pun lebih banyak menyendiri. Tidak jelas bagaimana perkembangan sehingga ia menjadi kadal. Naga dengan mulut berapi konon terinspirasi dari Komodo berlidah kuning beraroma kuat yang dilihat ekspedisi pelaut cina ketika melewati kepulauan itu pada dahulu kala.

 

Ketiga, hewan ini menarik perhatian ilmuwan dari berbagai penjuru dunia, karena terbukti ia dapat bertahan di pulau yang keras dan terisolir. Salah seorang peneliti asing dari Harvard dibantu jagawana P. Komodo itu pernah meneliti liur komodo. Aksi mereka itu direkam oleh program TV asing dan disiarkan secara luas termasuk di Indonesia. Menurut si peneliti tadi, liur komodo terbukti mengandung bakteri yang dapat mematikan mangsanya dalam 72 jam. Tetapi yang menakjubkan, bagaimana komodo dapat bertahan hidup selama ini karena dilindingui bakteri dalam liurnya. Itulah dugaan komodo punya anti bakteri dalam tubuhnya yang ingin dibuktikan peneliti tadi. Satu-satunya ancaman kematian komodo adalah saat komodo muda [juvenile] akan dimangsa oleh komodo yang lebih tua, karenanya komodo muda lebih banyak berlindung di dahan pohon dan baru turun merayap di tanah ketika berumur 1 tahun.

 

Keempat, populasi komodo ternyata relative mudah untuk kembangbiakkan, dengan program konservasi eks situ kebun binatang mengembangbiakkan komodo di luar habitatnya. Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta termasuk yang sukses mengembangbiakkan komodo di luar habitatnya. Beberapa kebun binatang di USA juga sukses membiakkan reptil ini. Setidaknya ada lebih dari 3 kebun binatang, seperti Woodland Park zoo, Seatle, Pittsburgh zoo, Kansas city zoo, Honolulu zoo. populasi komodo di habitat alami berkisar 3000 – 5000 ekor.

 

         Kelima, cara pelestarian Komodo dengan pendekatan konservasi eks-situ, dipelihara dan dibiakkan diluar habitat alaminya tergolong sukses dan dapat  dicontoh untuk species langka lainnya di Indonesia. Komodo yang langka itu masuk dalam daftar CITES dengan status endangered dan dalam IUCN sebagai vulnerable. Komodo juga menjadi daya tarik tersendiri di kebun binatang luar negeri karena mendatangkan pengunjung, dengan harga tiket yang bervariasi dari US$ 5 hingga US$45,  tentunya harga yang pantas diperhitungkan dibandingkan bila berkunjung langsung di habitat aslinya. Konon harga tiket masuk  P. Komodo dan P. Rinca sangat murah, masih lebih mahal dengan harga burger di restaurant waralaba itu.

 

         Keenam, inspirasi komodo pun mendunia hingga Hollywood membuat film tentang Komodo, yang dengan ceroboh digambarkan sebagai reptil raksasa dari Borneo. Film itu walaupun tak termasuk box office tetap saja mengundang minat penonton dan mengeruk dollar bagi industri film. Seharusnya kita sebagai “pemilik komodo” yang endemik itu dapat mengupayakan dialog internasional untuk mendapat pembagian keuntungan [benefit sharring] hasil pemutaran film itu dalam rangka melindungi sumberdaya genetik Indonesia sekaligus mempromosikan upaya perlindungan reptil purba itu. Kak Seto juga terinspirasi dengan mempopulerkan boneka si Komo yang lucu dan ”bikin macet  jalanan“ kepada anak-anak Indonesia untuk mendekatkan hewan endemik ini pada pemiliknya.[*]

 

 

 

Mallika and The Essential

 

Siapa tak kenal Malig & the essential? Hampir dipastikan banyak orang mengenal penyanyi muda debutan itu.  Lagunya kerap di putar stasiun radio di kota-kota besar Indonesia. Anak muda, professional berulangkali memutar lagunya yang ngebeat dari ipod , HP atau sound system mobil mereka.

 

Tapi siapa kenal Mallika ?, si kedele hitam asli Indonesia yang lahir dari  buah kerja keras koalisi ABC, academician-business-community di Indonesia.

Adalah PT Unilever yang memfasilitasi UGM dan petani di Ciwalen, Jabar dan Bantul DI Jogjakarta menyebarluaskan benih Malika. Pada saat program dimulai ditahun 2001-2002, Yayasan ULI Peduli-Unilever melaporkan ada  sekitar 12 petani terlibat membudidaya mallika di lahan seluas 5 hektar di Ciwalen Jawa Barat. Kemudian sejak itu, program terus berkembang, hingga tahun 2006, budidaya meluas mencapai 5,000 petani di daerah Yogyakarta, Nganjuk dan Trenggalek yang meliputi luas lahan lebih dari 400 hektar.

 

 

Mallika : from zero to hero

 

Memang mallika belum sepopuler Malig, tapi keduanya memiliki kesamaan: lahir penuh essensi dan mendobrak trend pada jamannya !

 

Kedele hitam adalah satu dari 26 varietas lokal yang di miliki Indonesia yang terabaikan dalam kancah pertanian nasional kita. Pemerintah memilih mengimport 40% kedele kuning [deffeated yellow bean] dari Amerika untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, antara lain untuk pembuatan tahu dan tempe. Wow..,fantastis, tahu tempe panganan rakyat jelata kita berbahan import. Itu artinya jika kita makan tahu-tempe yang menerima untung bukan hanya pabrik penghasil dan penjualnya, tetapi juga pemerintah Amerika.

 

Ketika program pengembangan varietas kedela hitam itu dimulai, UGM mitra ULI peduli-Unilever menjajagi keberadaan benih kedele hitam lokal. Ironisnya stok benih Cikuray di Departemen Pertanian tidak tersedia dalam jumlah cukup untuk dikembangkan. Namun Prof Mary ahli agronomi dari UGM berhasil menemukan benih kedele hitam dari sebuah pabrik kecap di Jawa Barat dan lalu mengembangkan melalui berbagai eksperimen yang di fasilitasi ULI peduli. Dari situ berhasilkan dilahirkan generasi baru kedele hitam yang diberi nama Mallika. Berkat dukungan dan fasilitas dari PT Unilever yang peduli pada potensi “si mutiara hitam” dari Jawa itu berhasil mengantarkannya masuk industri Kecap Bango.

 

Keberhasilan mengembangkan benih kedele hitam mallika sebagai benih utama [prime seed] merupakan langkah awal penting bagi perbanyakan dan perbaikan mutu kedele hitam asli Indonesia.  Sebuah pepatah tua dari Jepang menyatakan “menggunakan benih yang bermutu berarti sudah separuh kesuksesahan panen diraih”. Prof Samsoe’oed Sadjad ahli perbenihan yang guru besar IPB dalam otobiograpinya mengatakan “ tanpa benih yang baik tak mungkin pertanian memberi hasil. Petani yang tak kenal sekolahpun menyakini hal itu”

 

Mallika karena keunggulannya telah membuat sejarah pertanian tradisional beralih ke pertanian berorientasi industri, karenanya mutu dan kualitas hasil panen jadi taruhan petani agar kedele bisa diterima industri. Hal itu didukung oleh komitmen Unilever yang memberikan jaminan pembelian atas semua hasil panen yang memenuhi syarat dengan harga yang sudah disepakati bersama antara petani dan Unilever.

 

Untuk menjamin mutu dan kualitas Unilever juga memfasilitasi program ini dengan memberikan tenaga pendamping pertanian yang mumpuni, berbagai fasilitas seperti pembangunan saluran irigasi, alat perontok dan pengetahuan budidaya untuk menjamin keberhasilan kelompok tani menanam mallika.

 

Peran korporasi ditengah kegagalan pemasaran produk pertanian

 

Keberhasilan Unilever mengembangkan jenis kedele lokal baru dalam bidang konservasi jenis [species] merupakan langkah penting di Republik ini. Hal itu  merupakan terobosan ditengah kegagalan pemerintah menyediakan benih murah bermutu bagi petani. Malah saat ini banyak perusahaan yang memproduksi benih bersertifikat beroperasi ekslusif di Indonesia.

 

Selain itu pemerintah juga dinilai gagal dalam memasarkan produk pertanian kita. Sri, petani dari Ngawi berkeluh kesah dalam lokakarya temu tani se Jawa, Minggu 18/3 “Pemerintah seringkali menerapkan program tidak jelas. Kami diberitahu untuk menanam komoditas tertentu, tetapi ketika panen melimpah, pemerintah lepas tangan tak mencarikan jalan menjual produk ke daerah yang butuh” [Kompas,20/03/07]

 

Selain itu pemerintah masih menjalankan kebijakan import beras, melonggarkan pintu masuk bagi berbagai varietas buah-buahan dari negeri tetangga seperti durian monthong, apel USA, jeruk lokam Cina dll. Kebijakan ini tentu tak berpihak pada petani kita. Keadaan ini memperparah petani kita yang sejak lama telah memiliki keahlian sebagai pemulia [breeder]. Kini fungsi itu sebagian besar diambil alih oleh perusahaan penghasil benih yang menjual benih kepada petani.

 

Kondisi ini menyebabkan persoalan konservasi jenis menjadi bagian dari komersialisasi benih daripada isu moral yaitu tanggungjawab dalam melestarikan species melalui proses budidaya tanaman termasuk seleksi benih yang sejak dulu dilakukan petani-petani kita. Bahkan lembaga perbenihan milik pemerintah tak mampu melawan industri “bisnis kehidupan” itu.

 

Kembali ke Mallika….!

 

Malika tidak akan lahir tanpa campur tangan Unilever yang peduli dengan potensi sumberdaya negeri sendiri. Program ini telah berhasil mengangkat satu jenis kedele hitam Indonesia ke dunia industri dan kecap Bango telah menjadikannya sebagai duta ekonomi kita. Dari kedele hitam saja, kita dapat membangun perekonomian nasional yang memutar roda kehidupan petani, sumberdaya genetik kita dan dunia usaha/ industri di Indonesia.

 

Bila korporasi lainnya berpikir cerdas seperti ini, bendera biodiversity negeri ini pasti berkibar kukuh. Lahirnya mallika memang esensial…..! [r]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jangan Ragu Pada Sagu

“Membangun Papua dengan Sagu”

 

 

       Sagu (Metroxylon Sago) adalah tanaman pangan penghasil pati di Indonesia Timur hingga saat ini masih kurang disentuh. Padahal sagu identik dengan makanan pokok sebagian saudara kita di Indonesia Timur, mulai dari Maluku hingga Papua. Meskipun pengelolaan sagu kurang optimal, namun pati dari sagu sesungguhnya sudah digunakan secara luas misalnya sebagai bahan pembuat mie, tepung pembuat bakso, kerupuk, roti dan tepung. Bisa dibayangkan nilai startegis sagu yang dapat dikembangkan dalam membangun ketahanan pangan khususnya Indonesia timur. Alih-alih mengembangkan, pemerintah justru membanjiri Papua dengan program Raskin, meskipun beras bukanlah makanan utama kebanyakan masyarakat di Papua dan Maluku.

       Saat ini hutan Papua mulai tergedradasi oleh pembalakan liar atau ditebang untuk perkebunan kelapa sawit. Tanaman sagu adalah bagian dari ekosistem hutan di Papua. Biasanya ekosistem sagu ini disebut sebagai dusun sagu yang dikelola oleh suku atau marga tertentu. Di Papua dan Maluku sagu tumbuh liar, meski beberapa masyarakat adat di Papua membudidayakan sagu, namun umumnya sagu tumbuh alami. Sagu juga adalah benteng pertahanan terakhir sumber pangan bagi orang Papua. Mereka menokok sagu setelah persediaan ubi, talas dan pisang menipis. Karenanya Sagu selalu istimewa, ia begitu dinantikan sebagai makan idola dan penyelamat bagi keluarga.

       Indonesia memliki lahan Sagu terbesar di dunia, yaitu kurang lebih 1,25 juta hektar di Papua dan Maluku, dan 148 ribu hektar sagu semibudidaya di Riau, mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Menurut Wahono Sumaryono, Deputi Kepala BPPT  bidang agroindustri seperti dikutip situs resmi BPPT menyebutkan kadar pati kering dalam sagu adalah 25 ton per ha diatas kandungan pati beras yang hanya 6 ton per ha, jagung 5,5 ton per ha. Penelitian IPB

       Namun pengelolaannya masih diremehkan oleh pemerintah sebagai elemen pembangunan ekonomi daerah. Dalam sebuah diskusi di Manokwari, Papua, seorang staf Departemen Pertanian menyatakan, Sagu diperlakukan seperti “anak hilang”. Sagu tidak masuk prioritas pengelolaan di Deptan, karena ia tumbuh di kawasan Hutan. Koleganya dari Departemen Kehutanan berbalas pantun “ Sagu juga bukan punya Kehutanan karena ia komoditi pangan bukan diambil kayunya”.

       Di P. Yapen saja masyarakatnya mengenal sekurangnya 6 jenis sagu yang dibedakan atas bentuk durinya. Mereka menyebutnya Noime, Manawei, Anapi, Kurai, Ansina, Guruh. Namun nasib sagu di Pulau kecil ini nyaris sama dengan keberadaan dusun sagu di Papua lainnya. Dusun sagu kerap kali dikorbankan untuk pembangunan wilayah. Padahal masyarakat mengelolanya sebagai bagian dari pengelolaan ekosistem hutan secara lestari. Sagu di Papua dan Maluku mempunyai hubungan dengan kepemilikan atau pengelolaan oleh adat atau marga. Umumnya setiap warga di Papua memiliki keterikatan dalam pengelolaan sagu, mereka tidak bisa babat sagu seenaknya, karena ditentukan oleh pimpinan adat.

       Pengelolaan sagu sebagai bagian dari pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan lokal sebaiknya diarahkan pada potensi sagu sebagai komoditi.  Badan Ketahanan Pangan Provinsi Papua sejak 2000 hingga 2004 menyebutkan pola konsumsi masyarakat adalah umbi-umbian30%, sagu 15% dan beras 55%. Trend pola konsumsi itu sangat mengkhawatirkan seorang warga di Tablasupa, Yos yang menyatakan “anak muda papua sudah lupa cara menanam ubi karena terbiasa makan beras. Padahal seringkali beras “hilang” dari kampung kalau ada kerusukan di Jayapura. Begitu pula yang dirasakan Mujianto, aktivis LSM yang bekerja di Bintuni, menyatakan keprihatinannya melihat mereka juga lebih senang makan mie instan daripada mengelola kebun ubi dan dusun sagunya.

       Potensi ekonomi sagu dan umbi-umbian di Papua harusnya dilihat sebagai peluang mengembangkan industri tepung nasional, karena pasokannya yang besar dan dapat dikelola secara kemitraan dengan masyarakat, tanpa tergantung bahan tepung ekspor seperti gandum. Jepang secara intensif sudah meneliti sagu dan menemukan bahwa sagu dapat digunakan sebagai bahan dasar produksi glukosa, sirup berfluktuosa tinggi, sorbitol dsb. Masa depan industri tepung atau gula Indonesia harusnya optimis dapat  dibangun di Papua, dengan perencanaan yang matang dan bervisi lingkungan, limbah industri tepung tadi bisa diolah lebih lanjut menjadi bioetanol, biogas dan bioplastik dari pada mengembangkan kelapa sawit atau bahkan menanam jarak (jatropha curcas) di Papua.

       Lebih dari itu, secara sosial orang Papua memiliki kebun sagu berdasarkan kepemilikan marga, sehingga pengembangan sagu dapat menyertakan model pengelolaan sagu secara tradisional sehingga industri tepung hanya perlu menyediakan infrastruktur dan pabrik pengolahannya saja disertai memperkenalkan teknologi panen sagu yang lebih praktis dan ekonomis menggantikan tenaga manusia yang biasanya berjam-jam menokok sagu.

       Sementara sagu dikembangkan menjadi tulang punggung ekonomi baru berbasis industri bagi pembangunan Papua, hutan dapat menjadi investasi jangka panjang dalam pasar carbon di masa depan.  Makanya jangan ragu membangun Papua dengan sagu!

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar

About me

Rio R. Bunet
Penyuka jalan-jalan, naik kereta dan sepeda pancal, bertaman dan berkebun... dan meneropong benda langit..