Rio Bunet

My online blog

Curahan Opini

 

Tulisan dalam bab ini berisi pemikiran, opini dan gagasan tentang persoalan seputar konservasi atau pengelolaan sumberdaya alam. Opini penulis dan harapannya kepada pemerintah merupakan refleksi pemikiran dan juga kegelisahan akan arah kebijakan pemerintah pada pembangunan negeri ini, khususnya pada kasus-kasus krisis ekologi dan pengelolaan SDA

 

 

  • Menyorot Perkembangan Pengelolaan SDA Berbasis Masyarakat
  • Memberdayakan Pangan Lokal Membangun Ketahanan Pangan Nasional
  • Pupuk Punya Siapa?
  • Pengembangan Biodiesel Terbarukan
  • Nusantara Kita Yang [Tak] Kaya
  • Republik BBN
  • Penjajahan Keanekaragaman Hayati dan Kemerdekaan
  • Pemprov Jawa Barat Jabarkan Implementasi CBD
  • Kelapa Sawit Di tengah Kekayaan Hayati Kita
  • Domestikasi dan Bangsa Pemulung
  • Memahami Keberagaman Indonesia
  • Kedele, Tempe dan Harga Diri Bangsa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Menyorot Perkembangan Pengelolaan

Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat

 

 

Latarbelakang

 

Masa depan indigenous people dan sumber daya alam saling terkait di muka bumi. Mereka telah membangun peradabannya yang sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Di banyak tempat di dunia ini terutama di Asia, Afrika, Amerika dan kawasan Pasifik, tanah tempat tinggal indigenous people masih menyisakan keutuhan ekologi, hidupan liar dan keanekaragaman hayati (Stevens 1997).
 

Populasi indigenous people di dunia diperkirakan lebih dari 200 juta, dengan lebih dari 50 juta tinggal di daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati, seperti di hutan hujan di Amazon, Afrika, Asia Tenggara, dan Melanesia (Dahl et al. 2001). Bukanlah suatu kebetulan bahwa indigenous people berperan penting melestarikan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Mereka bukan saja telah membangun pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang mencerminkan keeratan pengetahuan lokal pada tempat tinggalnya, tetapi juga mempercayai hubungan manusia dengan alam sebagai sesuatu yang sakral.

 

Hampir semua praktik pengelolaan sumber daya alam, khususnya pembukaan hutan oleh masyarakat asli/adat dan atau masyarakat tradisional dalam aktivitas perladangan berpindah atau swidden agriculture, selalu disertai dengan masa bero atau masa istirahat untuk beberapa tahun lamanya untuk memberi kesempatan pada alam ber-regenerasi

 

Penelitian Nuripto dan Ginting pada 1996 (lihat Gunawan et al.1999) melaporkan bahwa siklus perpindahan ladang masyarakat adat Benuaq di Kalimantan Timur dimulai dari umaq atau huma yang diberokan. Masa bero atau masa mengistirahatkan lahan 1-2 tahun menghasilkan boaq  yang merupakan suksesi pertama setelah masa tanam. Masa bero 5-10 tahun pada lahan disebut Kloako tuhaq  yaitu suksesi yang ditandai hadirnya tanaman pioner berdiamater 20 – 30 cm, hingga mencapai bengkar atau hutan tua bila telah mencapai  lebih 100 tahun.  Cara tradisional itu terbukti mampu melestarikan hutan dan memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat adat Benuaq.

 

Politik Pengelolaan SDA di Indonesia

 

Masalah penguasaan sumber daya hutan di Indonesia merupakan persoalan politik yang rumit  karena, selain kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia yang tidak jelas, keberadaaan masyarakat adat juga tidak diakui dan bahkan tersingkir dari sistem penguasaan hutan oleh negara. Praktik pemanfaatan sumber daya hutan selama masa Orde Baru telah menimbulkan berbagai masalah ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang mengarah kepada penyusutan luas hutan, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ekonomi (Awang et al. 2001).

 

Selain masalah dominansi pemerintah dalam penguasaan hutan, terdapat persoalan yang cukup mendasar dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu seringkali pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional, dinilai sebagai aktivitas yang menghabiskan biaya, hanya menyumbang sedikit manfaat, sulit ditera nilai ekonominya dalam mekanisme pasar dan manfaatnya tidak dapat dipungut langsung. Lebih dari itu, mengelola kawasan konservasi sering dianggap sebagai isu moral atau etika dalam pelestarian keanekaragaman hayati dibandingkan isu ekonomi pembangunan (Wiratno et al. 2002).

 

Sejalan dengan semangat reformasi yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir, muncul paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia yang membuka peluang bagi diakuinya peran dan partisipasi masyarakat adat. Paradigma pembangunan bergeser dari sentralistik ke desentralistik, serta dari gagasan moderen, ilmiah, dan berbasis negara (state based ) ke gagasan tradisional dan berbasis masyarakat (community based). Dengan paradigma baru tersebut pemanfaatan sumber daya hutan diharapkan mampu memberikan manfaat secara lestari (sustainable), produktif, efesien dan adil (equitable) kepada masyarakat.

 

Realisasi dari dorongan pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktik akibat hambatan-hambatan antara lain berupa perbedaan persepsi, sikap birokrat dan beberapa kalangan akademisi yang sangat kuat. Di lain pihak, praktik-praktik pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat, meskipun berlangsung di bawah tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih terus bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam (Suharjito et al. 1999).

 

Karakteristik pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat dapat diketahui dari adanya unsur penguasaan tanah dan sumber daya baik secara individu maupun komunal, orientasi pengusahaan yang biasanya meliputi komersial dan subsisten, serta pola pengelolaan yang multikultur. Keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat dapat diukur dari tingginya indikator produktivitas, keberlanjutan, kesetaraan (equity) dan efesiensi, yang secara nyata mampu menunjang kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan konservasi secara ekologi dan ekonomis (Darusman et al. 2000)

 

Permasalahan yang umum terjadi dan menghambat praktik-praktik pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat adalah tidak diakuinya penguasaan lahan dan sumber daya masyarakat oleh pemerintah. Hal tersebut secara sistematis melemahkan inisiatif masyarakat dalam mengelola sumber daya berdasarkan kearifan yang dimiliki mereka, sehingga pada akhirnya melemahkan budaya masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan. menumbuhkan pemikiran, penelitian dan kajian-kajian yang intensif.

 

Pelaksanaan CBNRM di Indonesia

 

Kegagalan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional, dalam menjalankan fungsinya merupakan akibat kekeliruan di tingkat paradigma, konsepsi dan implementasi konservasi alam di Indonesia. Kegagalan itu merupakan salah satu bukti bahwa pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia belum melalui proses konsultasi para pemangku kepentingan, terutama untuk mendapatkan legitimasi masyakarat lokal dan pemerintah daerah.

 

Beberapa inisiatif yang relatif baru untuk memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi telah diterapkan di Indonesia. Inisiatif tersebut antara lain melalui pendekatan Integrated Conservation Development Projects (ICDP) dan Integrated Protected Areas System (IPAS). Keduanya merupakan upaya mengkaitkan konservasi keanekaragaan hayati di dalam kawasan lindung dengan pembangunan sosial-ekonomi masyarakat setempat.

 

Namun penelitian MacKinnon dan Wardojo tahun 2001 (lihat Wiratno et al. 2002) menyatakan keberhasilan kedua konsep tersebut di lapangan belum dirasakan, selain disebabkan aktivitas ICDP yang tidak diarahkan kepada ancaman konservasi yang utama. Selain itu, kegagalan pendekatan itu disebabkan sistem insentif yang diberikan tidak mencukupi untuk mengubah perilaku masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya hutan (Barber et al. 1997 ). Sementara itu, kegagalan konsep IPAS lebih disebabkan oleh lemahnya kelembagaan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) saat itu, rendahnya kontribusi pemerintah lokal dan kapasitas pelaksana kegiatan di lapangan.

 

Inisiatif lain yang lebih terbuka bagi partisipasi masyarakat seperti pendekatan co-management telah diterapkan di Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, yang memadukan kemitraan antar pemangku kepentingan di kawasan tersebut. Hasilnya adalah menjadi wadah bersama pemangku kepentingan yang mendukung pengelolaan TN Bunaken.

 

Konsep co-management lainnya  juga telah diterapkan di Philipina, melalui suatu dewan pengelola kawasan konservasi yang disebut Protected Area Management Board (PAMB) yang terdiri dari wakil masyarakat, perguruan tinggi serta instansi pengelola kawasan konservasi daerah, yang bersama-sama melakukan perencanaan dan pengawasan terhadap pengelolaan kawasan konservasi didukung perundang-undangan yang jelas oleh kementrian lingkungan hidup Philipina.

 

Konspe co-management lainnya juga dilaksanakan di Zimbabwe disebut Comunal Area Management For Indigenous Resources  (CAMPFIRE) dan di India, Departemen Kehutanan Benggala Barat mengembangkan Joint Forest Management.  (McNeely, 1995)

 

Tantangan pelaksanaan CBNRM masa depan

 

Dewasa ini, konsep-konsep pengelolaan kawasan konservasi terus berkembang. Namun masih menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, apalagi memberi pengakuan atas praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang secara tradisional dilakukan masyarakat. Bahkan prioritas program pengelolaan kawasan konservasi telah berubah menjadi lebih besar, dihitung dari luas area yang akan digarap dan kebutuhan financial untuk mendukung Strategi Large-Scale Conservation. Konsep itu, menurut Chapin, 2004  lebih mementingkan dukungan ilmu pengetahuan daripada menimbang realitas sosial dari suatu kawasan konservasi yang akan dijadikan proyek. Pada saat yang bersamaan juga ditengarai adanya keengganan bekerjasama dengan indigenous people atau masyarakat tradisional yang sulit diajak bekerjasama dibawah strategi proyek-proyek konservasi. Lebih jauh, Chapin juga mengemukakkan kondisi seperti itu di Ecuador, Bolivia, dan Chiapas-Mexico telah menjadi konflik berupa gangguan dari penduduk asli (civil distruption) dan bahkan kekerasan (violence)

 

Kondisi seperti dilaporkan Chapin juga terjadi di kawasan konservasi lainnya di dunia. Hal itu tentu saja akan berdampak pada tradisi dan budaya masyarakat adat, bukan saja dalam aspek pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga aspek pewarisan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal dari generasi ke generasi. Dampak lebih lanjut dari intervensi luar, desain program yang tidak partisipatif tersebut adalah matinya budaya itu sendiri, atau sekurang-kurangnya mempengaruhi praktik-praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan

 

Kerjasama antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi diharapkan dapat menciptakan sinergi yang relatif lebih baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Barton (1997) melaporkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi yang melibatkan masyarakat, dapat meningkatkan efektivitas, efesiensi dan keberlanjutan pengelolaan kawasan (lihat Safford & Maltby 1998). Hal tersebut karena adanya motivasi yang lebih tinggi dari masyarakat, dengan digunakannya pengetahuan, keterampilan dan sumber daya lokal secara penuh, sehingga menguatkan kelembagaan lokal. Pada akhirnya insiatif lokal dan kemandirian dalam pengelolaan kawasan akan terbentuk.

 

Penelitian Sneed di Taman Nasional Wrangell-St. Elias dan Kluane (lihat Stevens 1997) menunjukkan sistem co-management yang ideal harus memenuhi hal-hal berikut: (1) harus ada kesepakatan tujuan dari co- management yang menjadi pusat dari upaya konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan sumber daya alam dengan menjamin wilayah tradisional masyarakat adat termasuk menjamin kelangsungan sistem budaya, kepercayaan, kebiasaan dari masyarakat adat, (2) Kesepakatan co-management harus merumuskan aspek kepemilikan legal dan hak penguasaan lahan dan sumber daya dalam kawasan konsevasi yang pelaksanaannya didukung dengan adanya institusi pengelola formal yang mewakili seluruh pemangku kepentingan,  (3) Kesepakatan co-management juga harus menjamin pelibatan masyarakat adat dalam merumuskan kebijakan, perencanaan, pengelolaan dan evaluasi, dan (4) Co-management harus menjamin tradisi pemanfaatan sumber daya alam secara optimal, serta dapat memungut hasil dari sumber daya yang dapat diperbarui untuk kepentingan ekonomis.

 

Sementara itu Wiratno et al. (2002) dalam penelitiannya tentang pola pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia melaporkan bahwa analisis terhadap berbagai praktik pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat, menunjukkan terdapat cukup bukti penting untuk mengadopsi dan mengintegrasikan sistem pengetahuan lokal dalam berbagai bentuk praktik penggunaan lahan masyarakat adat ke dalam pengembangan strategi konservasi nasional (Wiratno et al. 2002).

 

Penyelenggaraan workshop Community-based Natural Resources management di Jakarta pada November 2005 , dimana KEHATI bertindak sebagai penyelengara host -- diharapkan dapat menjadi media  untuk merefleksi pengalaman di bidang konservasi sumberdaya alam dengan bekerjasama masyarakatsebagai subjek pembangunan. Kecenderungan suatu lembaga konservasi untuk membawa desin program ke dalam wilayah konservasi perlu dicermati, khususnya untuk memberi ruang dan apresiasi atas apa yang telah dilakukan dan keterlibatan masyarakat umum termasuk masyarakat asli/tradisional dalam menjaga kawasan tempat tinggalnya, tetap menjadi landasan dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari. [*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memberdayakan Pangan Lokal

Membangun Ketahanan Pangan Nasional

 

 

Tikus mati di lumbung

 

Bagai tikus mati di lumbung, barangkali pas untuk menggambarkan penderitaan saudara kita di Yakuhimo Papua. Pasalnya orang Papua adalah pekebun ubi-ubian handal dan memiliki beraneka jenis ubi-ubian, keladi dan sagu. Ironis, kelaparan terjadi di provinsi terluas, kaya sumber hayati dan  populasi pendudukan terendah itu.

 

Mereka yang kelaparan, gagal panen, buruk gizi atau apa pun istilah yang digunakan, membuktikan kegagalan pemerintah menjadi fasilitator pembangunan ketahanan pangan di kampung seperti Yakuhimo. Tapi pemerintah berdalih, cuaca buruk dan ganasnya serangan ulat adalah penyebab gagal panen sehingga warga kekurangan pangan. Bila itu benar, mengapa berita kelaparan dan busung lapar juga muncul di di Jawa, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi dan banyak lagi di daerah-daerah seperti ramai diberitakan media massa nasional. Berita-berita itu hendaknya diwaspadai pemerintah sebagai gejala ketahanan pangan nasional daripada sesumbar mengatakan “tidak terjadi bencana kelaparan di Papua”

 

Rawannya sistem ketahanan pangan kita tidak saja menggambarkan carut-marutnya kebijakan pangan nasional, tetapi juga memperlihatkan rendahnya komitmen pemerintah mengupayakan pemanfaatan yang memberi nilai tambah pada keanekaragaman pangan di Indonesia. Baru setelah korban jatuh di Yakuhimo, pemerintah mengenalkan dua jenis ubi baru yaitu cangkuang dan BB957256-9 yang rencananya akan dinamai Wamena Solossa dan Wamena Patipi [berasal dari nama Gubernur Papua atas usulan Presiden SBY] seperti dikutip situs www.infoPapua.com

 

Begitu juga dengan isu formalin dalam pangan kita, setelah para pedagang resah dan dirugikan akibat tindakan “rasia pasar”, baru kemudian muncul berita bahan pengawet alami dari limbah udang, kepiting dan batok kelapa yang ternyata sudah ada di lab universitas-univeritas nasional menunggu gayut pemerintah untuk dikembangkan pada khalayak.  Dewan Ketahanan Pangan Nasional malah asyik berdebat soal impor beras, di saat sagu, keladi dan umbi-umbian kita menunggu giliran sentuhan teknologi untuk mengangkat “derajat” dan nilai tambah sebagai aset pangan nasional.

 

 

Tidak semua makan nasi

 

Tidak adil rasanya bila beras diperlakukan begitu istimewa dalam peta ekonomi Indonesia bila kita tahu ada sumber karbohidat lainnya yang patut dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia. Apalagi tidak semua orang Indonesia makan nasi.

 

Seperti kita tahu saudara-saudara kita di Maluku, Papua makan ubi, sagu dan pisang sebagai makanan pokok.  Tidaklah salah mereka tidak makan nasi, karena alamnya menyediakan sagu dan keladi berlimbah. Seorang Tetua Adat dari Kampung Tablasupa, Distrik Depapre, berkeluhkesah pada saya, katanya ‘bila ada gejolak politik dan demo-demo di kota [Jayapura] beras kadang sulit didapat di desa, sementara anak-anak muda sudah terbiasa makan nasi. Mereka jadi malas bertani umbi-umbian dan keladi”.  

 

Di Pulau Rote yang kaya  pohon lontar, penduduknya lebih banyak mengonsumsi air nira [gula lontar] dibandingkan makan beras dan jagung walaupun kedua komoditi itu tersedia. Tidak mengherankan bila nira lontar menjadi sumber penghidupan utama orang Rote dibandingkan bertani dan beternak [James Fox, dalam panen lontar, 1998].

 

Adanya stigma bahwa mereka yang tidak mengonsumsi nasi adalah keluarga miskin atau terbelakang merupakan penyebab tidak tumbuhnya penghargaan dan upaya pengembangan sumber-sumber pangan selain padi.

 

Di Sumba misalnya, keluarga yang mencari ubi di hutan ketika paceklik tiba, oleh pemerintah daerah malah dijadikan indikator keluarga miskin. Dan mudah ditebak, pemerintah kemudian membuat program bantuan beras miskin [raskin] untuk masyarakat. Seorang aktivis LSM di Waingapu sempat frustasi menghadapi ketergantungan masyarakat akan beras bantuan itu. “Setiap kami masuk desa memperkenalkan program, masyarakat selalu meminta imbalan sekarung beras, padahal mereka punya kebun” katanya.

 

Mengapa ada kecenderungan menyeragamkan pola makan beras di Indonesia? Apa ini bias politik pemerintahan yang berpusat di Jawa? Walahualam, tapi bila itu dibiarkan, sama saja mengingkari kenyataan  bahwa Indonesia kaya sumber pangan, bukan hanya beras!

 

Strategi mengembangkan ketahanan pangan yang berbasis hanya padi saja tanpa disadari memunculkan dominasi politik pangan yang monokultur. Predikat swa sembada pangan beras di era Orde Baru, telah menyingkirkan tanaman sumber karbohidrat seperti kimpul, garut, ganyong, gadung, kleci dan lainnya. Program ekstensifikasi pun diartikan mengembangkan padi hingga keluar pulau Jawa,  menganaktirikan sagu, keladi, sumber pakan masyarakat local bahkan  merusak lahan gambut di Kalimantan untuk dijadikan sawah.

 

Begitu kuatnya komitmen swa sembada beras kala itu agaknya membuat lupa pemerintah bahwa tidak semua orang Indonesia makan beras. Tidak mengherankan bila akhirnya pemerintah memutuskan mengirimkan beras ke Yakuhimo, di saat ubi melimpah tak ada harganya menggunung di desa-desa di Jawa dan Lampung.

 

Membangun pangan lokal di Jogjakarta dan Sumba Timur

 

Pengembangan pangan lokal di Jogjakarta telah dilakukan masyarakat sejak 1996-97, khususnya di desa Argodadi, tepat saat krisis moneter melanda Indonesia. Bercocok tanam padi kala itu mahal karena harga pupuk melambung tak terjangkau rakyat miskin. Di tengah kesulitan itu, program ketananan pangan non beras digagas bersama LSM lokal dan masyarakat. Program ini mendapat tanggapan luas dari masyarakat setelah ada bukti bahwa garut dapat diolah menjadi emping dan sukses di pasar. Setelah dihitung, keuntungan memproduksi emping garut dapat menambah uang belanja masyarakat untuk memberli beras. Lahan sempit pekarang bagi yang tak memiliki sawah untuk sementara bisa menyelamatkan mereka dari kelaparan dengan ditanami garut dan jenis umbi lainnya.

 

Dua tahun kemudian program pangan lokal di Jogjakarta berkembang di seantero kabupaten seperti gunungkidul, bantul, kulonprogo. Jenisnya pun tak terbatas pada garut saja tapi juga seperti gadung, kleci, gayong, kimpul, gembili, uwi, suweg, disamping singkong dan ubi jalar.

 

Cara pengelolaannya juga bervariasi, selain dibuat emping, juga diolah diambil patinya.Pati di jual ke pasar atau digunakan sebagai bahan pembuatan kue basah maupun kue kering seperti blackforest, cashtengels. Nilai tambah yang didapat warga pun berlipat sehingga mereka kini tidak lagi membabat ganyong, kimpul dan garut yang dulu dianggap gulma pekarangan.

 

Bila umbi-umbian di Jogjakarta mulai “naikdaun’ karena dapat menjadi penghasilan tambahan disamping bertanam padi, tentu upaya itu dapat dilakukan di lain tempat.

 

Terinspirasi keberhasilan petani Jogjakarta, beberapa wakil masyarakat dari desa-desa di Kecamatan Karera, Sumba Timur datang dan magang di Jogjakarta. Mereka sudah datang dua kali. Pertama hanya 2 orang dikirim pada tahun 2001 untuk mengidentifikasi jenis umbi yang dikembangkan. Ini untuk membandingkan umbi di hutan yang mereka miliki [lihat boks hasil identifikasi]. Kemudian tahun 2005 sebanyak 10 orang belajar budidaya dan pengolahan umbi-umbian menjadi anekaragam panganan.

 

Sepulang dari Jogjakarta, mereka pun menggelar demo masak kepada kawan-kawan desa lainnya. Tak mau menyiakan kesempatan, mereka pun memberanikan diri memasok snak berbahan umbi-umbian kepada peserta rapat konsorsium pengembangan NTT yang dibuka Bupati Sumba Timur. Dengan menu blackforest ala resep Jogja, mereka tak malu lagi mengonsomsi ubi hutan. Kini tawaran datang dari berbagai pihak, mereka diminta melatih tim PKK Waingapu mengolah umbi-umbian.

 

Pemerintah sudah saatnya mengembangkan beragam sumber pangan di nusantara, sudah saatnya “melek biodiversity,” sehingga masyarakat mudah  memperoleh bahan pangan termasuk usaha budidaya dan pengolahannya. Bayangkan perempuan Papua harus berjam-jam memanen sagu di hutan, tidak bisakah ahli pertanian kita membuat terobosan baru sementara varietas padi unggul ditemukan hampir setiap tahun ?

 

Untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama dari lembaga penelitian, departemen terkait dan sektor swasta untuk mengembangkan industri berbasis keragaman pangan kita di kebun, di hutan, di rawa dan di lahan kering.

 

Perlu diingat melalui industri pangan yang tangguh mampu menghasilkan beragam produk yang bernilai, tidak hanya berupa  tepung-tepungan dan keripik saja. Gula diet, biskuit, bioplastik, jelly, ice cream, sirop dan wine sekalipun dapat dihasilkan dari umbi-umbian kita. Dengan demikian, ragam sumber pangan kita akan tumbuh dan menyumbang pada pembangunan Ketahanan Pangan Nasional.[*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Nusantara Kita yang [tak] Kaya

 

 

Rasanya bencana tak kunjung henti mendera bangsa ini. Kelaparan, epidemi penyakit, tsunami, gempa bumi, banjir, longsor semua berkelanjutan. Berita di media massa telah membentuk wajah kita menjadi murung. Berbeda dengan masa kanak-kanak saya. Pulang sekolah mendendang lagu Koesplus. Tanah kita katanya tanah surga, kolam susu juga ada. Sekarang, rasanya sulit menerima kenyataan ini. 

 

Bersegaram KEHATI saya berbusa meneriakkan “kita negara kaya ragam hayati nomer dua di dunia, mari lestarikan”. Tapi semakin lantang, semakin gamang, masihkah nusantara surga di Katulistiwa ?. Apalagi saat ini banjir, longsor terjadi karena hutan digunduli, malu rasanya masih bicara Indonesia negara mega-biodiversity. Hari gini ! Mau menyanyi lagu Ebit tambah malu lagi, lha wong bencana kita buat sendiri, kok malah bertanya pada rumput bergoyang.

 

Banjir di Jember, Indramayu dan sepanjang pantai utara Jawa, longsor di Banjarnegara, Bondowoso, kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan disebut bencana alam. Tak ada yang menampik, tapi pasti ada ulah manusia di dalamnya. Bukan mau menyalahkan siapa, tapi justru hal itu yang tak pernah bisa diungkap di negeri ini, siapa harus bertanggung jawab. Setiap departemen terkait di pemerintahan punya jawaban sendiri-sendiri. Masyarakat yang menebang kayu dan membuka hutan paling gampang diadili.

 

       Tapi fakta berbicara, simaklah data dari situs Walhi, Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah mamalia, 16% spesies reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut sebesar 72 persen dengan kecepatan tinggi [World Resource Institute, 1997].  Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, dan  pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].

Singkatnya hutan kita berkurang kira-kira 3 kali luas lapangan bola setiap menitnya didulang industri kayu, seolah tak ada sumber daya hayati lainnya yang bisa diolah.

 

Masih ada lagi. Hutan lindung jadi hutan produksi, kemudian dirambah petani jadi kebun kopi semua terjadi di depan mata, pemerintah tak bisa pegang kendali. Ada evaluasi tapi tak ada aksi. Sikap tak acuh ini sudah jadi cap buat orang Indonesia.

 

Hutan yang hilang, berarti hancurnya rumah beraneka jenis tumbuhan dan satwaliar. Tak cuma itu, bencana menunggu beraksi, longsor lagi, banjir lagi, kebakaran lagi….bencana berkelanjutan.

 

Dalam keadaan hutan “dibuka”, orangutan lebih mudah diburu, induk dibunuh diambil anaknya untuk diperdangangkan. Orang utan Borneo masih tersisa 55.000 – 40.000 di belantara dan diperkirakan tidak akan bertahan lama. Fragmentasi hutan membatasi gerak harimau mencari mangsa, memaksa ia masuk desa dan dijebak di pinggir hutan. Jumlahnya di Sumatera hanya tinggal 500 ekor saja [www.wwf.or.id]

 

Burung entah terbang kemana karena bising suara chainsaw. Tapi di pasar burung Pramuka di tepi jalan yang ramai, mereka ada di sangkar menunggu pembeli atau pencinta unggas menebusnya menjadi koleksi istimewa. Dua pejabat BKSDA Jakarta “tertangkap lensa” jadi makelar berdasi [Tempo, Januari 2006]

 

Pembukaan hutan dan lahan baru sudah bisa dipastikan hanya untuk menciutkan jumlah berjenis-jenis tumbuhan menjadi satu komodi unggulan, yang lain enyah!. Kalau sudah begitu penduduk kelaparan, ubi dan keladi hilang dari kebun, musnah.

 

Belum lagi pembalakan haram. Kayu merbau hilang dari Papua, dikapalkan melabuh keluar negeri, meninggalkan warga Papua lapar tak terperi. Pak Menteri dan Gubernur malah berkelahi, sementara hutan dan keanekaragaman hayati Papua terus digerus, iihh ngeri…!

 

Sepuluh tahun bergiat dalam pelestarian keanekargaman hayati di Indonesia terasa semenit bila melihat kerusakan yang terus terjadi setiap detik. Lalu apa guna tulisan ini dibuat ?, semua orang juga sudah tahu. Entahlah. Mungkin masih tersisa waktu untuk merenung, masihkah negeri ini kaya? Atau setidaknya bisa mengusir bisu bila tak berani lantang “bersuara vocal”, karena mendiamkannya sama saja berbuat kriminal.[*]

 

 

 

 

 

 

 

Catatan Dari Ruang Sidang Komisi VII DPR-RI

Februari 2006 hari ke 28, Komisi VII DPR RI mengundang sejumlah ORNOP untuk dengar pendapat seputar RUU Energi. Yayasan KEHATI, WALHI, YLKI dan Jaringan Tambang mendapat kesempatan memberikan masukan kepada anggota dewan. Pertemuan itu adalah bagian dari mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat melalui fraksi-fraksinya meminta pendapat dari golongan  masyarakat.

 

Pimpinan Sidang, Sutan Batugana yang kocak bergaya khas Medan itu mencairkan suasana di ruang sidang yang berkesan serius dan formal. Ke 18 anggota [dari 51 anggota komisi VII] yang mewakili 10 fraksi pun mengikuti sidang dengan santai  tapi serius.  Isu RUU Energi yang diperkirakan ramai, karena sejumlah ORNOP sudah membulakan suara untuk menunda pengesahan RUU Energi itu malah terkesan berjalan ringan, produktif diselingi canda dan guyon anggota fraksi-fraksi.

Tapi teman-teman dari ORNOP yang maju menghadapi anggota komisi VII tampil penuh percaya diri, memberikan ulasan lugas, tegas dan menyakinkan agar pemerintah memikirkan dengan baik dan cerdas atas persoalaan sumberdaya energi di Indonesia. “Ini persoalaan kedaulatan energi, bukan semata-mata mau mengesahkan RUU Energi. Setelah  kedaulatan sumberdaya air dan pangan kita hilang, apakah sumber energi akan segera menyusul”? Demikian Chalid mewaliki WALHI membuka presentasinya.

 

Ismid Hadad yang mewakili KEHATI menggugah anggota dewan yang terhormat dengan presentasi berjudul  RUU Energi penting, tapi mau kemana? Dalam masukannya, Ismid menekankan semangat mensyahkan RUU Energi jangan hanya menjadi upaya tambal sulam dari UU atau peraturan bidang energi yang sudah ada dan sudah berlaku selama ini. “Bagaimana dengan aturan dan UU bidang energi sektoral yang sudah ada?, jangan sampai RUU Energi ini cuma mengurus sisa-sisa urusan yang ada belum diatur dalam UU energi sektoral” Selain itu Ismid menambahkan, RUU Energi tidak menunjukkan visi yang jelas dalam kebijakan energi nasional. Ismid berharap RUU Energi bisa ditujukan menjadi aturan yang mengimbangi, mengoreksi atau bahkan menggantikan UU sumberdaya energi yang telah ada yang bersifat parsial, sektoral dan eksploitatif.

 

Daryatmo dari YLKI juga menyoroti kelemahan RUU Energi yang dikatakannya tidak sensitive atas peristiwa kelangkaan BBM di Indonesia. RUU Energi tidak mengatur pajak pembelian bensin misalnya, bagi konsumen yang mampu dapat membeli berapapun liter bensin yang dibutuhkannya, sementara orang miskin semakin lemah dalam mengakses bahan bakar. Seharusnya, pajak diberlakukan bagi mereka yang mampu membeli bensin  hingga jumlah tertentu sehingga pendapat pajak tadi dapat digunakan mendanai  perawatan jalan raya untuk kepentingan publik.

 

Atas tanggapan-tanggapan itu, banyak anggota komisi VII yang memberikan responnya. Sebagian besar dari  mereka mengaku sangat kaget dengan usulan ORNOP untuk menunda pengesahan RUU Energi. “Bagai petir di siang bolong” begitu Ibu Tyas dari Golkar menanggapi usulan penundaan itu. Umumnya para anggota berpendapat bahwa kelangkaan energi dan carut marutnya pengelolaan sumberdaya energi nasional perlu segera dikendalikan melalui pengesahan RUU Energi yang didalamnya juga mengatur pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan untuk mengimbangi penambangan fossil fuels yang kian terbatas cadangannya.

 

Walaupun anggota menghargai pendapat ORNOP, namun mereka menanyakan alasan atau dasar pertimbangan penundaan. Sementara itu ada kekhawatiran, bila RUU Energi ditunda pengesahannya, dan sumberdaya alam dan energi habis dikeruk, dikemudian hari UU Energi menjadi tidak berguna karena sudah habis semua yang mau diatur.

 

Ismid yang mendapat pertanyaan-pertanyaan serupa dari anggota dewan menjawab, bahwa message nya adalah jangan terburu-buru mengesahkan RUU Energi tanpa ada konsultasi publik yang memadai dari semua stakeholder. Jangan sampai UU Energi yang disahkan menjadi masalah di kemudian hari dan sama sekali tidak berfungsi mengoreksi atau menggantikan aturan-aturan sumberdaya energi sektoral yang sudah ada dan berjalan selama ini. Selain itu penundaan dimaksudkan untuk memberi kesempatan adanya perhatian pada pengesahan RUU PSDA sehingga nantinya dapat sinergi dengan RUU Energi.

 

Dengar pendapat akhirnya selesai tepat pukul 16:30 WIB setelah ketua sidang mengusulkan beberapa kali tambahan waktu. Ketua sidang yang menjaga ketat waktu, berkali-kali mengingatkan kepada pembicara untuk menepati waktu yang ia berikan. Katanya semua itu untuk penghematan energi. Ah ada ada saja Pak Sutan.[*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pupuk Siapa yang Punya ?

 

Kelangkaan pupuk urea di sejumlah daerah disinyalir akibat maraknya praktik spekulan yang melakukan jual beli pupuk urea bersubsidi antardaerah. Harga pupuk urea kini bisa menjacapai Rp. 1.300 per kilogram [Kompas, 15/04/2006]

 

Pupuk langka bukanlah berita baru di Indonesia, juga bukan yang pertama kali terjadi di negeri ini. Setiap pemberitaan kelangkaan pupuk muncul di media, hanya satu yang terlintas dalam benak kita, mengapa pemerintah tak pernah mau belajar mengatasi kasus-kasus serupa?

 

Baru-baru ini kelangkaan pupuk terjadi lagi di pemerintahan SBY-JK. Konon petani sampai harus menunjukkan fotocopy KTP untuk membeli pupuk bersubsidi, itupun hanya dibatasi untuk pembelian 2 sak saja. Usut punya usut kelangkaan pupuk terjadi karena bahan bakar gas kita lebih banyak di eksport untuk menambah devisa, sehingga pasokan gas sebagai bahan bakar pabrik pupuk terbatas dan produksi pupuk pun menjadi berkurang. Presiden sampai turun tangan meminta pada pembantunya, menteri BUMN Sugiharto, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Mentri Pertanian Anton Apriyantono menangani persoalan ini [Tempo, April 2006]. Bila negara kita “katanya” negara agraris maka kelangkaan pupuk sebenarnya merupakan indikasi  bencana nasional. Hal itu bisa dilihat dari data yang dilansir Tempo bahwa akibat kelangkaan pupuk ini, diperkirakan target produksi gabah kering giling tahun ini turun 10% atau 3,3 juta ton dari target semula 54,8 juta ton.

 

Bencana nasional kelangkaan pupuk ini sulit diterima akal sehat, mengingat negeri kita kaya akan bahan organik, bahan hayati yang dapat diolah sebagai pupuk hijau yang tak kalah dengan pupuk buatan pabrik. Limbah kotoran ternak, hijauan daun lamtoro, bahkan gulma kirinyu [Chromolaena odorata] dan banyak biomassa lainnya yang dapat diolah menjadi pupuk dan pestisida alami. Bila pada waktu terjadi kelangkaan BBM saja, Presiden berani mengeluarkan instruksi rencana mengembangkan jarak [Jatropha curcas] sebagai biodiesel, energi terbarukan sebagai alternatif, apalah susahnya Presiden juga mengeluarkan himbauan mencanangkan pengembangan pupuk organik/ hayati terbarukan?

 

Bila pemerintah mau belajar dari kejadian kelangkaan pupuk yang berkelanjutan itu, tidaklah terlalu sulit menggerak petani dan pemerintah daerah menggunakan pupuk hayati. Selain karena bahan hayati yang dapat diolah jadi pupuk berlimpah, di beberapa tempat praktek penggunaan pupuk hijau, mulai dari tehnik pengkomposan dan fermentasi menghasilkan pupuk cair telah dilakukan banyak petani, LSM lingkungan dan praktisi gerakan “organic farming”. Bahkan tidak jarang  mereka membangun “bisnis hijau” baru memproduksi pupuk organik lengkap dengan layanan ujicoba produk untuk menyakinkan petani. Sumino dari sustainable agriculture department Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan di Solo pernah berujar, “petani di desa dampingannya mampu memproduksi produk organik hasil ujicoba sendiri dan diminati oleh perusahaan ritel model Multi level Marketing” Itu artinya mereka [petani] mampu membuat pupuknya sendiri tanpa tergantung pada industri pupuk yang rentan. Di Jogjakarta banyak pula ditemukan usaha pembuatan pupuk organik dalam skala industri kecil dan telah memasarkan produksi pupuk cairnya ke berbagai wilayah. Tak cuma itu, mereka juga mau memberikan ilmunya pada petani-petani yang mau belajar membuatnya.

 

Masyarakat Kecamatan Karera, Sumba Timur yang kebanyakan juga petani, jauh-jauh datang ke Jogja untuk belajar membuat pupuk organik dan biopestisida. Praktek membuat pupuk menjadi menu belajar setiap hari selain teori-teori tentunya. Kini mereka bertekad mengembangnya di desa  Bahkan untuk melibatkan sebanyak mungkin masyarakat, mereka membuat demplot sebagai wadah belajar masyarakat. Beberapa materi belajar telah pula disiapkan untuk memulai program itu pertengahan tahun ini.

 

Untuk pembuatan pupuk cair diperlukan: urine ternak [sapi, kerbau, kambing] sebanyak 5 liter. Tetes [ampas tebu] atau gula pasir atau dapat diganti gula enau atau lontar 1 kg. Hijauan daun segar kaliandra, gamal, lamtoro, turi, kirinyu, kotoran padatan dan abudapur 1 kg. Ada bahan tambahan lainnya seperti jahe, kencur, temulawak, kunyit, temugiring, temuireng dan laos. Sementara itu berbagai macam bahan hayati lainnya dapat dibuat pestisida alami seperti: singkong karet, jengkol, air kelapa hijau untuk racun pengendali hama tikus. Untuk hama penggerek batang digunakan tembakau 1/4kg, labu siam, sabun deterjen 1 sendok. Semua bahan itu ada dan mudah didapat di desa atau wilayah pertanian  di seluruh Indonesia.

 

         Contoh sukses penggunaan pupuk hijau adalah China dan Vietnam. Petani-petani di negara itu secara tradisional memanfaatkan azolla sebagai pupuk hijau selama berabad-abad bagi padi sawah. Azolla adalah  tumbuhan paku yang hidup di air berukuran 3-4 cm yang bersimbiosis dengan cyanobacteria sehingga mampu mengikat nitrogen.

 

                                                                      Gbr. Azolla mexicana

 

 

         Dari beberapa penelitian diperoleh bahwa laju pertumbuhan azolla adalah 0,355 – 0,390 gram per hari (di laboratorium) dan 0,144 – 0,860 gram per hari (di lapang). Pada umumnya biomassa azolla maksimum tercapai setelah 14 –28 hari setelah inokulasi. Dari hasil penelitian Batan  diketahui bahwa dengan menginokulasikan 200 gram azolla segar per m2 maka setelah 3 minggu, azolla tersebut akan menutupi seluruh permukaan lahan tempat azolla tersebut ditumbuhkan.  Dalam keadaan  ini dapat dihasilkan 30 – 45 kg N/ha berarti sama dengan 100 kg urea. Azolla tumbuh dan berkembang lebih baik pada musim penghujan daripada musim kemarau. Kegunaan lain dari Azolla adalah sebagai pakan ternak/hijauan, pakan ikan, terutama ayam dan itik, mampu menekan pertumbuhan gulma dan perkembangan jentik nyamuk. Azolla mempunyai beberapa spesies, antara lain Azolla caroliniana, Azolla filiculoides, Azolla mexicana, Azolla microphylla, Azolla nilotica, Azolla pinnata var. pinnata, Azolla pinnata var. imbricata, Azoll rubra.

 

Meski azolla tumbuh secara alami di Eropa, Amerika dan Asia termasuk Indonesia, penggunaannya di negara kita tidak seluas dan seintensif seperti di Vietnam dan China. Konon ketika perang Vietnam dulu, masyarakat Vietnam diselamatkan oleh berlimpahnya azolla di lahan pertanian mereka sehingga produksi beras mampu menghindarkan  rakyat dari kelaparan. Bahkan kini Vietnam sudah mengekspor berasnya ke Indonesia yang notabene pernah menyandang predikat swasembada beras di era orde baru.

 

Ayo dong Pak Presiden, canangkan secara nasional program pupuk terbarukan alias pupuk organik dari bahan hayati kita! [*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengembangan Biodiesel Terbarukan

 

 

Ada yang menarik disampaikan menteri pertanian kita, Anton Apriyantono, yang dimuat Kompas (25/6) “Saatnya mengembangkan Energi Biodiesel”. Menurut Anton, “ ini saatnya pemerintah melakukan substitusi kebutuhan energi dari hanya bahan bakar tak terbarukan dengan biodiesel yang terbarukan”. Potensi pengembangan biodiesel terbarukan yang disebut Anton adalah juga sebuah potensi pengembangan sektor pertanian Indonesia untuk bangkit kelesuannya selama ini.

 

Bukan main-main, bila menteri pertanian mengklaim potensi pengembangan bio-diesel dapat menjadi substitusi BBM, sektor pertanian dapat menjadi leading dalam mempromosikan potensi keanekaragaman hayati kita untuk masuk dalam industri bahan bakar minyak nabati. Bila hal itu benar-benar ditindaklanjuti dengan keberanian dan niat sunguh—sungguh dari pemerintah, dapat kita harapkan kesulitan sektor energi khususnya bahan bakar minyak karena masalah distribusi dan mahalnya biaya bahan bakar bagi masyarakat akan dapat sedikit teratasi. Dan yang akan menjadi pahlawan adalah keanekaragaman hayati kita.

 

Beberapa bulan sebelumnya, kawan-kawan dari lembaga pegiat lingkungan me-launching buku berjudul “Melawan Ketergantungan Pada Minyak Bumi” karya Effendi Syarief. Buku yang mengetengahkan pemanfaatan minyak nabati dan biodiesel sebagai alternatif dan gerakan itu menggugah banyak orang tentang potensi tersembunyi keanekaragaman hayati di negara kita. Sebutlah Jarak Pagar (Jatropa curcas) dan Jarak Kepyar (Ricinuss communis) yang sejak jaman penjajahan jepang sudah dimanfaatkan oleh militer jepang untuk mengatasi embargo minyak yang dilakukan tentara sekutu pada Jepang pada perang Dunia II. Maka diperbanyaklah tanaman jarak itu oleh Jepang saat menjajah Indonesia sehingga menyelamatkan mesin-mesin perang Jepang itu.  Selain jarak, beberapa tanaman seperti dimuat dalam buku itu juga mampu mengasilkan minyak seperti kelapa sawit, jagung, jambu mete, gandum, kapas, kedelei, kopi, ketumbar, kacang tanah,  bunga matahari dan masih banyak lagi. Selain pengolahan bahan nabati tadi menjadi minyak, buku itu juga mengulas secara teknis modifikasi pada mesin diesel dan mesin lainnya dengan biaya terjangkau masyarakat.

 

Seperti biasa, wacana yang sudah mulai banyak diperbincang orang tentang bio-biodiesel terbarukan atau bio-fuels ini tetaplah perlu dicermati. Karena dikuatirkan perusahan dengan investasi besar akan mampu mencuri start mengelolanya menjadi bahan bakar nabati lengkap dengan standart produksi berlisensi dan kemungkinan monopoli produksi sehingga biaya tetap tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah, seperti nelayan, tukang ojek, petani. Padahal Jarak tumbuh dekat masyarakat seyogyanya dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan energi dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Karenanya menurut Didiek H. Goenadi dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, pengembangan biodiesel di Indonesia membutuhkan kebijakan energi nasional (Kompas 25/6)

 

Adalah Yayasan Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan di Solo, mengajak Yayasan KEHATI Jakarta untuk membuat proyek percontohan pengembangan Biofuel dari Jarak Pagar untuk kebutuhan masyarakat pedesaan dan pesisir. Dalam rangka penjajagan itu, KEHATI menyambut baik tawaran kerjasama itu dan akan mengajukan lokasi percontohan di Sumba Timur bersama mitra-mitranya Yayasan Alam Lestari,  Universitas Nusa Cendana Kupang dan masyarakat di 5 Desa di Kecamatan Karera Sumba Timur.

 

Jarak Pagar telah disosialiasasikan di Sumba dan ujicoba pengembangan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Nusatenggara Kupang di Hambala, 8 km dari Waingapu Sumba Timur. Keberadaan tanaman jarak juga banyak terdapat di Sumba Timur. Selain pengembangan tanaman jarak sebagai bio-fuels, proyek ini berencana menjadikan kebun jarak pagar sebagai agent penyubur lahan kritis yang banyak terdapat di Sumba. Selain itu akan dikembangkan pula tumpang sari jarak pagar dengan tanaman pangan, sehingga terjadi optimalisasi lahan kritis di wilayah itu. Minyak nabatinya akan berguna bagi bahan bakar untuk penerangan diesel dan traktor, di kecamatan yang berjarak 120 km dari pusat kota Waingapu dan belum tersentuh fasilitas seperti PLN dan SPBU.

 

Kita semua berharap potensi keanekaragaman hayati di negeri ini dapat menggantikan energi bahan bakar minyak yang kian langka dewasa ini. [*]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penjajahan Keanekaragaman Hayati dan Hari Kemerdekaan

 

 

         Buku-buku sejarah kita mengajarkan, penjajahan di Nusantara terjadi karena bangsa-bangsa barat tertarik dengan kekayaan hayati kita. Rempah-rempah paling dibutuhkan dan dicari oleh bangsa Eropa, bahkan mereka pun tidak jarang berkelahi satu sama lain demi memonopoli perdagangan komoditi itu. Cengkeh, pala, lada jadi barang rebutan. Pencetakan perkebunan dalam skala besar dilaksanakan dengan paksa. Kina, tembakau,  teh, cacao, karet, kopi, dan tidak ketinggalan berbagai tumbuhan rempah-rempah turut ditanam ber hektar-hektar di areal hutan alami di tanah Jawa, kebun-kebun rakyat di Maluku, Aceh, dan banyak tempat lain di negeri ini.

 

         Tiga ratus lima puluh tahun bumi kita dikeruk hasilnya, diboyong ke Eropa dijajakan dalam pasar perdagangan dunia. Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 memang merupakan jembatan emas untuk memutus rantai penghisapan itu. Undang-Undang Dasar 45 menjamin pemanfaatannya untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

Waktu pun terus merangkak, orde demi orde pun berganti memimpin negeri ini bangkit merebut cita-cita kemerdekaan. Bangun badannya, bangun jiwanya untuk Indonesia Raya! Ironisnya, memasuki usia 61 tahun kemerdekaan kita, kesejahteraan yang diidamkan tak kunjung terwujud. Kerusakan lingkungan yang parah malah memerosotkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

 

Bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor makin lumrah kita dengar dalam berita. Bukan hanya di Jakarta – yang makin kerap dilanda banjir – juga berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan seantero Indonesia lainnya. Jember, Sinjai, Gorontalo, Buntok, Banjarmasin pun bagai saling menunggu giliran satu dengan lainnya. Di berbagai tempat itu, walaupun semua sudah tahu bahwa penyebab utamanya ialah illegal logging, namun hukum dan aparat tak kuasa untuk menggiring semua  pelakunya masuk bui. Metode tebang pilih untuk menjaga lestarinya hutan tidak dipraktek di sektor Kehutanan, tapi jutru di sektor penegakan keadilan dan hukum negeri ini.

 

         Hutan alami kita menyusut 72% dengan tingkat laju kerusakan 3,8 juta ha pertahun atau setara 3 kali luas lapangan bola hilang per menitnya. Padahal disanalah kekayaan hayati lainnya bergantung hidup, dihabitatnya. Flora dan fauna hilang merana, ekosistem rusak binasa. Hutan Sumatera diramal habis 2005 dan Hutan Kalimantan diprediksi musnah 2010. Hutan lindung dijarah, bukit di kepras diambil emasnya lalu meninggalkan kemiskinan dan limbah beracun pada pemilik tanah ulayat rakyat Papua. Maunya mendulang emas tetapi menuai bencana. Itulah misteri kutukan sumberdaya yang paling nyata!

 

         Laut kita jadi keranjang sampah terbesar,  semua limbah ada, dari kayu, kemasan botol pastik hingga sandal jepit terapung disana. Ikan pun menipis terperangkap jaring, disikat pukat. Terumbu karang digali dan dijadikan bahan bangunan membuat rumah dan tembok, padahal ia cuma tumbuh 1 mm per tahun. Bom, potasium dan sianida ditumpahkan ke laut memburu ikan Napoleon yang lezat dagingnya. Mithos surga kolam susu negeri ini pun sirna.

 

         Orang kelaparan tak bisa makan nasi, mencoba bertahan mengais ubi dan keladi di tepi hutan atau dipinggir kali, ya….. mereka telah tergusur petak sawah milik petani atau dibiarkan hidup menyendiri di luar kebun dan pekarangan sendiri.

 

         Sementara orang di kota merasakan alam kemerdekaan ini sungguh berarti. Mereka serba berkecukupan, lebih pangan, lebih sandang, lebih papan. Mal-mal megah, kondominium dan real estate bebas banjir dibangun mengubah lansekap dan merusak fungsi rawa, situ dan hutan bakau yang menyempil di kota. Banjir cuma mengalir di komplek perumahan rakyat kecil. Masih ada lagi kelebihan orang kota,  pasokan beras aman bahkan masih harus impor dari Vietnam. Buah dan sayur melimpah dapat dibeli siang – malam, kayu bahan bangunan mudah dipesan, tapi bukankah itu hanya sepenggal buah pembangunan yang tidak merata dan bijak?.

 

         Tuan dan nyonya, kalau anda masih berani membuka halaman berita di koran itu lagi.., saksikanlah orang di Sikka kembali makan batang gewang, orang di jawa makan batang pisang. Bukankah itu pernah terjadi pada jaman penjajahan jepang dahulu? 

 

         Kemanakah sumberdaya hayati kita, yang katanya nomer dua di dunia. Wujudnya dan keberadaan yang tersisa masih bisa kita saksikan, tetapi pengelolaan dan pemanfaatnya terjajah oleh keserakahan gaya hidup dan pola pembangunan negeri kita sendiri.

 

         Tuan dan Nyonya, bersiaplah menyambut Hari Kemerdekaan kita, 17 Agustus 2006. Merdeka!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kelapa Sawit  Di Tengah Kekayaan Hayati Hutan Kita

 

 

Sejarah penyebaran dan perkembangan kelapa sawit

 

Kelapa Sawit [Elaeis guineensis] bukanlah flora asli Indonesia, ia berasal dari daerah yang terletak antara Guinea dan Angola di Afrika Barat. Keberadaan asal muasal flora itu dibuktikan dari penelitian geologi dan sejarah bahasa. Berdasarkan penelitian geologi di Nigeria sebelah Timur dan pada seluruh lapisan tanah muda di delta Sungai Niger ditemukan fosil tepungsari berasal dari zaman Miocene. Fosil tersebut sangat mirip tepungsari kelapa sawit yang ada pada saat ini. Bukti itu memperkuat dugaan kelapa sawit telah lama ada di benua Afrika, dan dimanfaatkan oleh penduduk sebagai bahan masakan dan kosmetika. Dari segi bahasa, nama latin Sawit :  Guineensis menunjukkan pada Guinea, daerah asal tanaman ini, sebagaimana layaknya sebuah identifikasi dan introduksi tanaman selalu diberi nama sesuai dengan nama penemunya atau daerah asalnya1.

 

         Penyebaran kelapa sawit diduga dimulai sejak Columbus menemukan benua Amerika pada 1498, yang sejak itu diikuti masuknya penjajahan benua tersebut oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Guna mengusahakan daerah baru, pemerintah kolonial Portugis dan Spanyol mendatangkan budak dari Afrika. Para budak itulah yang membawa benih kelapa sawit ke benua Amerika. Namun menurut Hunger, di Amerika ditemukan jenis kelapa sawit yang terdapat bebas di alam yaitu jenis Elaesis melanococca2

 

         Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada 1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor [KRB] melalui Hortus Botanicus Amsterdam, merupakan turunan dari Mauritius dan Re’union [Bourbon]. Walaupun hanya 4 tanaman yang pada awalnya dibudidayakan di KRB pada masa kepemimpinan Prof. Dr. CGC Reinwardt, budidaya kelapa sawit lalu disebarluaskan ke semua kabupaten di Jawa dan pulau-pulau penting di Nusantara. Catatan Hunger menunjukkan, pada 1869 hingga 1890 diadakannya ujicoba pertanaman kelapa sawit di Muara Enim, Musi Ulu dan Belitung-- walaupun perkembangnya cukup baik, dan di dorong pemerintah, masyarakat tidak tertarik mengusahakannya2

 

Perkebunan kelapa sawit dan biodiversity loss di Indonesia

 

 Perkembangan kebun kelapa sawit sejak pertama kali dikebunkan di Muara Enim pada 1911 hingga kini hampir lebih dari 100 tahun, perkebunan dan industri kelapa sawit didukung kebun-kebun kelapa sawit di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Bila dahulu perkebunan sawit banyak dikembangkan dan dimiliki pemeriintah [BUMN], maka kini perusahaan swasta Indonesia maupun asing pun berkiprah membuka dan memiliki kebun kelapa sawit. Maraknya bisnis kebun sawit ini menyebabkan rusaknya hutan alami Indonesia.

 

a. konversi hutan alami

 

Perusahaan yang mengantongi ijin legal pembangunan kebun kelapa sawit, membabat hutan, mengkonversi tak kurang dari 19,8 juta ha untuk memberi tempat bertahta bagi tanaman introduksi yang sangat komersial itu.  Saat ini, hanya 6 juta ha lahan kelapa sawit yang produktif  atau beroperasi, sedangkan kurang lebih 14 juta ha tak jelas nasibnya, karena setelah kayu di dapat, lahan dibiarkan terlunta dan perkebunan tidak pernah dibangun3. Ancaman konversi hutan alami belum berhenti, karena pemerintah baru-baru ini merencanakan menambah areal kebun kelapa sawit baru seluas 1,8 juta di daerah perbatasan Kalimantan dan Sabah, Malaysia4. Dapat kita bayangkan berapa banyak lagi kita akan kehilangan keanekaragaman hayati di hutan tropis kita.

 

Kecendrungan penambahan luas areal sawit di Indonesia diperkuat oleh Ketua Harian Gabungan Asosiasi Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia [GAPKI], Derom Bangun, yang mengatakan laju pertambahan areal selama 1997-2005 mencapai 48,4%, sedikit berbeda dengan data ditjen perkebunan yang 54,7%. Sementara itu di 2006, Derom mengansumsikan akan dicapai perluasan 5,2 juta lahan konversi baru5 yang hampir dipastikan akan dipenuhi perijinan oleh pemerintah mengingat pemerintah juga mencanangkan pengunaan bahan bakar nabati untuk mencukupi kebutuhan energi terbarukan dalam negeri hingga 5% hingga 20256. Bila prediksi ketua harian GAPKI itu benar, artinya ancaman deforestasi di Indonesia akan semakin parah.

 

Bila dibandingkan Malaysia, biaya produksi perkebunan kelapa sawit di Indonesia lebih rendah, ini mendorong banyak investor berminat memiliki lahan perkebunan di Indonesia, termasuk pengusaha dari Malaysia yang selama ini menjadi kompetitor Indonesia. Bila Malaysia dapat meningkatkan produktivitas kebun sawitnya melalui perbaikan breeding, tidaklah demikian di Indonesia yang masih saja dihantui oleh persoalan benih yang kurang bermutu, sehingga pilihan ekstensifikasi atau memperluas luas areal perkebunan tidak dapat dihindari untuk tetap dapat bersaing dengan Malaysia.

 

Selama hampir seabad perkebunan kelapa sawit di Indonesia, persoalan biodiversity losses tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Malah disinyalir ada ijin pembukaan hutan untuk areal kelapa sawit yang masuk dalam kawasan konservasi yang telah ditetapkan pemerintah. Laporan World Bank tahun 2001 menyatakan bahwa 40% hasil kayu legal dari hutan Indonesia merupakan hasil dari konversi hutan alami ke perkebunan7

 

b. ancaman bagi satwa dilindungi

 

Pembukaan hutan alami untuk perkebunan menimbulkan dampak serius bagi usaha pelestarian flora dan fauna di kawasan itu. Fragmentasi lahan yang terjadi akibat pembukaan hutan alami ini secara langsung mengusir kawanan gajah dan harimau Sumatera, memusnahkan habitat orangutan dan satwa lainnya. Bahkan satwa yang terjebak di kawasan perkebunan kelapa sawit sering kali dianiaya, diburu bahkan dibunuh karena dianggap mengganggu bibit muda kelapa sawit. Orangutan bukanlah hama kelapa sawit, ia terpaksa makan  pelepah muda kelapa sawit karena tak ada lagi makanan pokoknya di dalam areal perkebunan itu8. Pembunuhan dan penganiyaan orangutan yang dilakukan pihak perusahaan merupakan pelanggaran atas UU no 5/1990 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati dan ekosistemnya.

 

Upaya penyelamatan orangutan di Kalimantan Tengah dilakukan Pusat Reintroduksi Orangutan Nyarumenteng-Yayasan BOS sejak maret 2003 hingga Mei 2006 mencapai 197 ekor dan 7 diantara mati akibat luka-luka aniaya. Bahkan disinyalir areal konsesi yang diberikan kepada pengusaha kelapa sawit  di kawasan  Kabupaten Kotawaringan Timur dan Barat mengandung nilai konservasi tinggi bahkan didalamnya masih terdapat 1500 – 1600 populasi orangutan[1]

 

c. kebakaran hutan

 

Hilangnya kayu kualitas terbaik dari hutan-hutan Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi tak terbilang, namun distribusi manfaatnya hanya dinikmati oleh pemerintah dan pegadang kayu illegal. Belum lagi upaya pembersihan lahan untuk pembangunan kebun kelapa sawit menyebabkan kebakaran hutan yang memprihatinkan, bukan saja dari aspek kerusakan lingkungan, tetapi juga penegakan hukum yang bersifat “tebang pilih” karena hanya menjerat petani tradisional saja padahal aparat mengetahui pemilik lahan tempat terjadinya kebakaran. Kebakaran akibat clearance system kebun sawit juga telah merambah kawasan Taman Nasional, seperti di TN Tesso Nilo, Riau sebagaimana diliput Tim investigasi SCTV[2]. Wahli dalam siaran persnya memberitakan bahwa dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006 total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1%[3]

 

Kasus pembakaran hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit selain merupakan tindak kriminal juga berdampak negatif bagi inisiatif pengembangan program biofuels berbahan crude palm oil dan merupakan promosi yang buruk bagi Indonesia di dunia internasional.

 

Sementara itu Yayasan WWF Indonesia yang mengamati kasus kebakaran hutan melaporkan : titik panas utama terjadi pada minggu kedua (8-14) Agustus ini, keberadaan titik panas tidak lagi terfokus pada Riau dan Kalimantan Barat, tetapi mulai menyebar ke Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Barat tercatat sebanyak 3.238 titik panas, yang terindikasi di kawasan konsesi HTI (4,79%), konsesi HPH (1,82%), konsesi perkebunan (5,72%) dan areal penggunaan lahan lainnya (87,67%). Berdasarkan tipe tanahnya, titik panas yang terdeteksi di lahan gambut 12,15% dan di lahan bukan gambut 87,85%.  Di Riau tercatat 1.336 titik panas, yang terindikasi di konsesi HTI (30,84%), konsesi perkebunan sawit (14,22%), overlap konsesi HTI dengan perkebunan (0,45%), dan penggunaan lahan lainnya (55,39%)[4] . Asap dari kebakaran hutan itu telah merugikan kesehatan masyarakat dan bahkan merusak citra Indonesia dimata negara tetangga yang terkontaminasi kabut asap dari hutan Indonesia.

 

d. hilangnya sistem tenurial masyarakat

 

Selain dampak yang mengancam keanekaragaman hayati, pembukaan hutan juga menyengsarakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Konflik lahan tidak terhindarkan, land tenure system  masyarakat tradisional hilang musnah. Pengusaha yang mengantongi ijin pemerintah setempat dapat langsung membabat hutan tanpa musyawarah dengan masyarakat. Laporan Walhi Kalteng 2005 yang dikutip Yayasan BOS itu menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 2005 terdapat 242 perusahaan kelapa sawit membuka perkebunannya sehingga menimbulkan konflik lahan dengan masyarakat setempat. Setidaknya ada 35 konflik lahan di wilayah itu. Penyelidikan oleh Sawit Watch sejak 2004 menemukan 140 konflik atas pelanggaran sistem tenurial masyarakat adat. Padahal diperkirakan 40 juta dari populasi Indonesia adalah masyarakat tradisional /asli [indigenous people] yang sangat bergantung pada pengelolaan sumberdaya hutan[5].

 

 

 

 

 

e. hilangnya nilai hutan lainnya

 

Selama ini tampaknya hanya nilai ekonomi dari produktivitas dan hasil berupa minyak sawit saja yang menjadi perhitungan pengusaha dan pemberi ijin usaha dalam hal ini pemerintah. Sementara itu, nilai-nilai lainnya yang turut musnah seiring konversi hutan alami diabaikan, misalnya nilai kayu dari  penebangan hutan merupakan devisa negara yang besar, tetapi seringkali disalahgunakan dan dinikmati oleh segelintir oknum pedagang kayu illegal. Ini  sudah tentu merugikan penerimaan negara.

 

Menurut Simangunsong[6], nilai ekonomi hutan produksi harus diukur dengan Pendekatan nilai ekonomi total yang mengklasifikasikan nilai hutan ke dalam:

(1) Nilai guna langsung (direct use values), yaitu nilai dari barang atau jasa yang dikonsumsi langsung seperti kayu bulat, kayu bakar, hasil hutan non-kayu, dan air untuk keperluan rumah tangga;

(2) Nilai guna tidak langsung (indirect use values), yaitu nilai dari barang dan jasa yang diperoleh secara tidak langsung seperti pengendalian erosi dan perlindungan tata air (soil protection and water conservation), penyerapan karbon (carbon sink), pengendalian banjir (flood protection), dan prasarana angkutan air (water transportation);

(3) Nilai pilihan (option values), yaitu nilai langsung dan tidak langsung dari hutan dimasa mendatang seperti nilai keanekaragaman hayati dan nilai dari perlindungan habitat; dan

(4) Nilai Keberadaan (existence values), yaitu nilai intrinsik dari hutan seperti nilai spiritual, sosial dan budaya

 

Penelitiannya menunjukkan kontribusi yang sebenarnya dari hutan produksi Indonesia : nilai guna langsung dari hutan hanya sekitar 7% dari nilai ekonomi total, sementara nilai tidak langsung sekitar 92%. Perkiraan konservatif dari luas tebangan tahunan saat ini adalah 1.45 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 32 juta m3.  Produksi kayu sejumlah ini akan menghasilkan rente ekonomi sebesar US$2.83 milyar setiap tahunnya, namun hanya sekitar 16% dari rente ekonomi tersebut dapat dinikmati oleh pemerintah melalui pungutan resmi sementara sisanya akan dinikmati oleh pihak swasta dan para penebang liar.  Dengan tingkat pemanenan tersebut, masyarakat harus menanggung biaya lingkungan sebesar US$ 609 juta setiap tahunnya karena jasa-jasa hutan seperti penyimpanan karbon, pengawetan tanah dan air dan lain sebagainya berkurang akibat rusaknya hutan produksi.

 

 

 

 

Perlu keberanian politik dalam pengelolaan industri kelapa sawit di Indonesia

 

Berapa pun nilai yang dapat dihitung dengan berbagai pendekatan mengenai nilai ekonomi total hutan produksi kita, fakta menunjukkan laju deforetasi hutan alami kita mencapai 3,8juta ha/tahun[7]. Kontribusi dari konversi hutan ke perkebunan telah secara nyata menggambarkan betapa masifnya ancaman sektor tersebut terhadap kerusakan hutan kita.

 

Kelapa sawit yang pada awalnya adalah tanaman introduksi, kini berkembang pesat karena melekat kepentingan ekonomi dan politik yang begitu kuat, sehingga meskipun faktanya ia adalah “gulma” bagi keanekaragaman hayati hutan tropis Indonesia, dan diperlakukan istimewa bak tuan di negri sendiri, namun sebagai penghasil devisa ia tetap dipuja.

 

Kelapa sawit masih menjadi pilihan strategis pemerintah saat ini, khususnya pada masa pencarian energi alternatif murah dan terbarukan. Didukung pengalaman pengembangan kebun sawit komersil lebih dari 100 tahun pemerintah makin membabi buta mengkonversi hutan alami kita. Isu pembukaan kebun sawit di perbatasan Indonesia – Malaysia di Kalimantan semakin menunjukkan ambisi pemerintah itu.

 

Dibutuhkan keberanian politik luar biasa untuk mengubah sistem ekonomi dan pengelolaan industri kelapa sawit yang mampu memberikan distribusi manfaat bagi kesejahteran masyarakat, dan tentu dapat tumbuh berdampingan dengan hutan alami, kebun masyarakat melalui pengaturan tataruang yang lebih baik dan ketat, mengindahkan sistem tenurial masyarakat adat dalam pengelolaan ekosistem hutan kita menuju pengelolaan sumberdaya alam hayati lestari.


Republik BBN

 

 

Sudah banyak diskursus soal potensi keanekaragaman hayati di republik ini yang dapat diolah menjadi bahan bakar nabati [BBN]. Sebut saja yang terheboh, jarak [jatropha curcas], kelapa sawit dan golongan tumbuhan lainnya yang dapat menghasilkan biodiesel. Sedangkan singkong dan umbi berpati, lontar, tebu dapat diolah menghasilkan bio-alkohol. Belum lagi tumbuhan tingkat rendah seperti ganggang biru yang kini sudah diteliti potensinya menghasilkan bioenergi.

 

Soal potensi BBN itu, Dr. Kusmayono, dalam program  Biodiesel 9 Mei 2006 di BPPT Jakarta mengatakan “ ahli biologi LIPI telah mengidentifikasi 60 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber bahan bakar. Singkong, tebu, jagung adalah jenis yang kita sudah kenal mampu menghasilkan premium bio etanol, tapi ada buah nyamplung, tanaman keras yang tumbuh baik di daerah pesisir mengandung minyak nabati 30% berpotensi sebagai biodiesel“

 

Ramai dan panjangnya diskusi soal biofuel ini terekam dalam catatan saya mengamati para ahli berbicara di forum-forum ilmiah sepanjang 2006. Seingat saya, IPB  yang pertama kali menyelenggarakan seminar nasional potensi jarak pagar sebagai bioenergi di awal 2006. Seminar nasional yang didukung industri BUMN mengklaim pendekatan ABG alias Academician-Bussines-Government mampu menolong Indonesia keluar dari krisis energi BBM. Simaklah mereka, pendapatnya perlu kita renungkan.

 

Hilal Alhamdi, Ketua Asosiasi Energi Hijau Indonesia pada seminar di Universitas Ahmad Yani - Cimahi, 24 April 2006 menyatakan  “cadangan minyak mentah kita tersedia untuk 18 tahun dan belum termasuk cadangan di blok cepu yang diperkirakan 170.000 barel. Lalu cadangan gas dapat diunduh untuk mencukupi kebutuhan selama 60 tahun, batubara cukup untuk 150 tahun dengan cadangan 57 Milyar ton, tapi bila pemeritah jadi mengembangkan listrik tenaga batubara dengan kekuatan 10.000 mega watt, maka cadangan itu cukup untuk 100 tahun saja. Cadangan energi lainnya adalah panas bumi [geotermal] di G. Salak, Papua, Sumatra dan NTT potensi yang dimanfaatkan baru 8000 mega watt saja, padahal potensinya mencapai 27.000 megawatt.

 

“Sifat energi tadi adalah tidak terbarukan [non renewable]” lanjut Hilal, sehingga pemerintah harus berpikir cerdas agar pemanfaatannya dapat dihemat dan diprioritaskan untuk cadangan masa depan. Sedangkan sebagai sebagai penggantinya dapat diproritaskan penggunaan energi terbarukan dari beranega ragam tumbuhan Indonesia penghasil minyak nabati”

 

Dr. Unggul Prihanto  dari BPPT mengatakan “produksi minyak kelapa sawit Indonesia adalah 15 juta ton per tahun, ironisnya 10,5 juta ton nya setiap tahun di ekspor ke Eropa, padahal di sana digunakan sebagai biodiesel. Namun begitu tidak sampai sebulan dari seminar di Cimahi itu, Unggul meluncurkan program nasional biodiesel  berbasis kelapa sawit di Kantor Menristek Jakarta. Dipamerkan pula  penggunaan biodiesel mulai dari kompor masak hingga mesin kendaraan diesel. Bahkan dijajagi kerjasama dengan pemda DKI untuk mengoperasikan 2 SPBU yang melayani biodiesel. “Mengapa cuma 2 SPBU?” tanya wartawan, Menristek  menjawab “pasokan kelapa sawit untuk biodiesel belum mencukupi secara nasional”

 

Bila BPPT mempromosikan biodiesel kelapa sawit, tidak begitu dengan Prof Robert Manurung dari ITB. Ia adalah peneliti jarak pagar yang paling maju di Indonesia. Menurutnya  “minyak jatropha curcas adalah yang terbaik sebagai biodiesel karena komposisi rantai kimianya sempurna dibanding kelapa sawit”. Pasokan biji jarak masih menjadi kendala sehingga belum dapat diharapkan memasok industri biodiesel nasional. Namun karena sifat tumbuhnya yang mudah dan keberadaannya hampir dijumpai di setiap wilayah Indonesia, minyak jarak dapat diprioritaskan menjadi program kemandirian energi di desa-desa. Pemerintah daerah dapat mencanangkan program kemandirian energi bagi wilayah terpencil dan nelayan-nelayan di pulau-pulau kecil. “Apalagi Indonesia punya lebih dari 300 klon jarak, sehingga pasti sangat potensial dikembangkan” tambahnya. Ketika ditanya keistimewaan struktur kimia minyak jarak, Robert mengatakan ia tidak dapat menyampaikannya. “Penelitian ini dibiayai oleh D1 [anak perusahaan Shell] dan Mitsubishi sehingga merekalah yang berhak mengeluarkan datanya”

 

Diantara ramainya propaganda biodiesel antara jarak dan sawit, dalam kesempatan terpisah, Dr. Andreas peneliti IPB menyatakan bahwa potensi produksi kelapa sawit mencapai 6,1 ton/ha sangat cocok untuk pengembangan biodiesel dibandingkan jarak pagar yang perkiraan potensi  per hektarnya hanya 1,6 ton. Ia juga mengingatkan pemerintah yang sesumbar dapat mengembangkan jarak pagar di lahan marginal yang tersebar di Indonesia, karena menurutnya luasan lahan marginal yang diklaim pemerintah itu tidak didukung data akurat. Agaknya pendapat Andreas ini ada benarnya, bila kita lihat pemerintah belum menanami lahan marginal dengan jarak, tetapi juga berencana membuka hutan di perbatasan Kalimantan untuk ditanami kelapa sawit.

 

Hampir senada, Deputy Mentri Perekonomian Bayu Krisnamurti dalam acara konsultasi publik menyoal bioenergi dari kelapa sawit, 8 Agustus 2006 di Jakarta, mengatakan “rencana pemerintah memanfaatkan jarak masih terkendala masalah bibit, dan penggunaan ubi-ubian belum terbukti dalam pengembangan skala industri besar. Hal itu berbeda dengan kelapa sawit yang sudah terbukti selama hampir 100 tahun bisa dikelola dalam skala industri nasional. Sementara itu diakuinya bahwa eforia tentang renewable energy muncul karena adanya kenaikan harga bahan bakar fosil, bukan didasari oleh kesadaran lingkungan dan pemanfaatan potensi sumberdaya hayati Indonesia”

 

Kebutuhan bahan bakar nabati disatu sisi dapat mencukupi kelangkaan bahan bakar fosil, tetapi solusi itu tidak dipungkiri dapat menimbulkan masalah lingkungkan/ekologi lebih besar yaitu deforestasi. Karennya diperlukan jenis sumberdaya lain yang lebih feasible dari sisi lingkungan, sosial dan doable. Target pemerintah meluaskan industri kelapa sawit secara politis mencapai angka 6,1 jt ha dalam 3 tahun, belum diimbangi oleh adanya alternatif lain yang cukup siap untuk pengembangan berbagai biofuels seperti dari lontar , sagu,  algae untuk etanol dan sumber daya lainnya. Karenanya dalam kaitannya dengan pemanfaatan BBN Bayu mengusulkan penyusunan kebijakan energi nasional tidak sentralistik. “Biarkan berkembang sesuai potensi SDA nya masing-masing, sehingga setiap kawasan di Indonesia punya sistem energi yang beragam”. Menurutnya pendekatan sentralistik tidak efisien dan menjadi sangat mahal biaya produksinya karena biofuels harus melalui mekanisme SPBU sehingga harus dikumpulkan disatu titik dan kemudian di distribusikan ke daerah-daerah lainnya.

 

Sementara itu menurut Nur Hidayati, Campaigner Greenpeace dalam diskusi panel Ekologi, Budaya dan Pembangunan pada 5 April 2007 di IPB Bogor mengatakan “pemerintah tidak mempunyai kebijakaan energi nasional yang jelas. Menurutnya keputusan pemerintah mengembangkan Renewable Energy bukan karena kebutuhan, tetapi semata-mata bersifat market driven, karena tingginya permintaan biofuels [kelapa sawit] negara-negara di Eropa yang serius mengurangi emisi gas carbonnya. Dampaknya deforestasi semakin menjadi. Sementara keputusan pemerintah mengembangkan energi nuklir tahun 2016 juga dirasakan terburu-buru. Sementara itu panel lainnya, Prof Daniel Mudyarso, peneliti isu Global Warming menambahkan bahwa deforestasi menyumbang 25% emisi gas karbon dunia, “kita semua taulah dimana deforestasi yang cepat itu terjadi”

 

Itulah wacana publik soal renewable energy yang sempat saya rekam di republik ini. Pemerintah tak menunjukkan kemauan politik yang serius. RUU energi tak kunjung selesai untuk dijadikan panduan. Rencana pengembangan biogas, bioetahol, dan biodiesel belum juga tampak wujudnya, semua baru bisa mimpi. Sementara target penggunaan energi terbarukan hingga 5% berpacu dengan berbagai agenda politik lainnya. Semua serba semrawut. Mungkin pemerintah perlu mendengar Al Gore si pemenang piala OSCAR 2007. Dalam filem dokumenternya “The An Inconvinient Truth ia berpesan “Political Will is Renewable Resources” [*]

 

 

 

 

 

 

 

 

DOMESTIKASI & BANGSA PEMULUNG

 

 

Domestikasi dan keberlanjutan hidupan liar

 

Domestikasi atau pemuliaan merupakan kegiatan penangkaran hidupan liar sehingga dihasilkan populasi jenis tertentu dari jenis moyang hidupan liar [wild ancestor]. Domestikasi memegang peran penting dalam konservasi jenis, dibawah campur tangan manusia, hidupan liar ditangkarkan dalam habitat buatan, diberi pakan dan dipelihara sehingga dari generasi ke generasi di dapatkan jenis yang disukai manusia. Salah satunya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Ditinjau dari segi bahasa Domesticate bermakna menjinakkan atau memelihara untuk diambil hasilnya. Ditinjau dari keterlibatan manusia, domestikasi mempunyai tujuan-tujuan tertentu atau dilatarbelakangi oleh hasrat manusia dalam mengembangkannya.

 

Moyang hewan kuda yang bertubuh mungil, setelah mengalami proses evolusi sampailah ia pada sejarah domestikasi yang panjang dalam peradaban manusia. Manusia mengembangbiakan kuda sebagai alat transportasi, angkutan perang bagi ribuan pasukan dan logistik. Domestikasi mamalia besar lainnya menjadi bukti penting bagi peradaban manusia, seperti pemenuhan kebutuhan akan daging, susu, telur, kulit, serat wool, tenaga penarik bajak. Domestikasi pada jenis unggas seperti dilakukan di Cina dilakukan untuk diambil daging, telur dan kulit seperti pada ayam, angsa, kalkun dan bebek. Bukan itu saja domestikasi juga mengawali tumbuhnya  jenis pekerjaan seperti peternakan, pertanian, keterampilan pengolahan bahan pangan dan sandang, maupun keahlian menjinakan hewan untuk dipelihara.

 

Jarod Diamond dalam bukunya Gun, Germs and Steel, domestikasi mamalia besar sudah dimulai sejak  ribuan tahun sebelum masehi. Jenis mamalia besar seperti onta, kuda, keledai dan kuda di domestikasi pada 2,500-4,000 tahun sebelum masehi. Sedangkan mamalia seperti sapi, babi, kambing dan anjing di domestikasi antara 6,500-10,000.

 

Tabel 1. Perkiraan Tahun Domestikasi dilakukan

Species

Tahun Sebelum Masehi

Tempat

Anjing

10,000

Asia Southwest, Cina, Amerika Utara

Domba

8,000

Asia Southwest

Kambing

8,000

Asia Southwest

Babi

8,000

Cina, Asia Southwest

Sapi

6,000

Asia Southwest, India(?) , afrika Utara

Kuda

4,000

Ukraina

Keledai

4,000

Mesir

Kerbau air

4,000

Cina (?)

Llama/Alpaca

3,500

Andes

Onta berpunuk

2,500

Asia Tengah

Onta Arabia

2,500

Arab

 

 

Konservasi jenis

 

Sejarah peradaban manusia yang memiliki perkembangan berbeda-beda turut menentukan proses domestikasi itu. Dalam buku yang sama terungkap bahwa peradaban manusia tidak saling belajar atau membutuhkan waktu sangat lama untuk mendomestikasi jenis hidupan liar yang sama. Latarbelakang yang berbeda dalam lingkungan dan sumberdaya yang berbeda itu justru menghasilkan beragam tujuan domestikasi dan hasil-hasilnya. Jenis anjing misalnya, dijinakkan orang Eropa untuk teman berburu dan hewan penjaga ternak atau keamanan di lingkungan peternakan, namun di beberapa daerah Asia, selain untuk hewan peliharaan seperti jenis peking di Cina, juga di konsumsi dagingnya.

 

Begitu pula orang Jepang mengembangbiakkan jenis ikan air tawar carper sp sejak 266 tahun lalu hingga kini menjadi ikan koi yang sangat berharga sebagai “barang seni” sementara di Indonesia keluarga carper dibudidayakan sebagai ikan mas yang banyak dan merakyat untuk dikonsumsi. Baru dalam 10 hingga 20 tahun terakhir peternak Indonesia mengembangbiakan koi dengan membeli induk asli dari Jepang dan menyilangkannya dengan jenis ikan mas lokal.

 

         Proses domestikasi merupakan upaya konservasi plasma nutfah hidupan liar. Ikan Koi yang dibudidayakan saat ini jenis dan coraknya lebih kaya dari sebelumnya, Anjing herder yang ditangkarkan 100 tahun lalu juga berbeda dari moyangnya, namun warisan gen terus mengalir dari generasi ke generasi. Selain perbaikan genetik atau keturunan [setidaknya fenotipenya lebih baik atau disukai] plasma nutfah dari moyang hidupan liar itu terus hidup di habitatnya.

 

 Teknologi dan pentingnya Domestikasi

 

Urusan domestikasi ternyata butuh ketekunan dan ilmu pengetahuan. Tidak semua jenis mudah dibudidayakan, contohnya gajah, ia sulit dibudidayakan, tetapi manusia berhasil menjinakkan [tamed] sehingga gajah dapat dimanfaatkan tenaganya untuk pekerjaan berat. Sedangkan Panda dari Cina yang dikenal rendah dalam kemampuan reproduksi karena kegagalan proses kopulasi jantan ketika membuahi betina, menyedot perhatian ahli akupuntur Cina untuk berkontribusi pada peningkatan “daya juang” panda jantan demi menjaga kelangsungan jenisnya.

 

         Sedangkan tananam bunga bangkai atau Puspa Padma [Amorpophalus] menurut Mantan Direktur Kebun Raya Bogor, Dr. Dedi Darnaedi yang tumbuh di Kebun Raya, berkembang secara alami, sementara biolog dari Jerman  sudah mampu mengetahui siklus perkembangbiakannya yang konon dipengaruhi oleh suhu yang spesifik, sehingga saat mekar bunga raksasanya yang mempesona itu dapat diketahui, bahkan lanjutnya “Amorphoplaus sudah masuk bursa jenis tanaman prestius yang dikembangkan dan diburu kolektor di luar negeri”.

 

         Baru-baru ini UGM yang difasilitasi oleh Ulipeduli Unilever berhasil memperbanyak kedele hitam varietas lokal “mallika” . Kedele lokal itu melalui upaya pemurnian varietas berhasil dikembangkan menjadi benih utama [prime seed] dan secara resmi telah mendapat pengakuan dari Deptan RI. Kedele hitam lokal itu kini ditanam di lebih 5000 ha lahan petani dari Jawa Barat hingga Jawa Timur untuk memasok industri kecap di tanah air.

 

         Upaya domestikiasi dengan memajukan pengetahuan dan teknologi bidudaya terus dilakukan oleh beberapa peneliti di Perguruan Tinggi. Seminar tentang  pengembangan unggas air Indonesia, di IPB pada 2002???, melaporkan 26,3 juta populasi itik lokal ternyata belum mampu berperan sumber pangan andalan. Dari lokakarya itu misalnya diketahui bahwa itik alabio yang merupakan jenis itik lokal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan yang hidup di daerah rawa hutan tropis dan itik Mojosari jawa timur yang berhabitat di lingkungan persawahan yang kering telah dicoba dilakukan inseminasi buatan dan bahkan disilangkan antara kedua jenis itik lokal tersebut [itik jantan Mojosari dengan itik betina alabio].

 

Namun begitu, keberhasilan mendomestikasikan hidupan liar pada masa lalu sepertinya mandeg saat ini. Apakah saat ini manusia cenderung  mengembangkan jenis-jenis yang telah didomestikasi pada waktu lalu atau  memilih cara gampang mengambil langsung dari alam? Belum ada jawaban pasti akan hal itu, yang pasti di Indonesia yang kaya hidupan liar itu justru tidak terdengar cerita sukses lahirnya jenis-jenis baru hasil penangkaran dan budidaya. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Kuswata peneliti senior Herbarium Bogoriense. Ia menyatakan ada 95 jenis durian di Indonesia, namun yang dikembangkan dan dikenal masyarakat kurang lebih 9 jenis saja. Padahal di hutan Kalimantan kita bisa jumpai durian lai  yang berwarna oranye, enak rasanya, hanya dikenal oleh masyarakat Kalimantan saja sebagai buah hutan. Begitu pula dengan 62 jenis mangga, hanya kurang lebih 10 jenis saja yang kita kenal, jenis-jenis lainnya tidak dibudidayakan

 

Di masa lalu kita pernah mendengar kegigihan Pak Mujahir yang berhasil menangkarkan jenis ikan tilapia menjadi ikan mujair yang sekarang kita kenal. Ada  Pak Mukibat yang berhasil menyilangkan ubikayu dengan jenis singkong karet menjadi Singkong raksasa produksinya umbinya. Ada pula pedagang dan hobiis yang  berhasil penangkarkan ikan hias seperti  silup menjadi ikan hias aruwana, atau ikan patin yang laku keras sebagai di pasar.

 

 

 

Bangsa Pemulung

 

Terlalu sedikit cerita sukses penangkaran jenis flora dan fauna dari negara megabiodiversity nomer 2 di dunia ini. Bahkan komoditas perkebunan kita penghasil devisa adalah hasil domestikasi pemerintah kolonial belanda. Masih banyak hidupan liar yang dipungut langsung tanpa proses domestikasi. Catat saja, berbagai jenis ikan air tawar di Kalimantan yang selalu ramai di perdagangkan seperti lais, baung, diambil langsung dari sungai besar seperti Barito, Musi dan Mahakam. Bahkan buah yang sepopuler durian pun masih lebih banyak dihasilkan dari dalam hutan, dibandingkan dari perkebunan. Bila jenis tertentu semakin berkurang populasinya, maka kelangkaannya justru diburu karena ia makin berharga dan diminati. Begitulah kondisi ini terus berlangsung, ketika dibelahan dunia lainnya IPTEK menyumbang kontrribusi pada konservasi jenis dan peningkatan nilai tambah, bangsa ini tetap asyik memungut dari alam.[]

 

        

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami Keberagaman Indonesia

 

 

Terbentuknya Gugus Pulau Nusantara

 

Teori pergerakan lempeng tektonik menjelaskan bagaimana gugus kepulauan Indonesia terbentuk. Dalam proses perkembangan selanjutnya dari sudut pandang biologi kemudian juga menjelaskan posisi Indonesia sebagai mozaik keanekaragaman hayati dunia yang penting, yang menempatkan Indonesia sebagai negara Megabiodiversity kedua di dunia. Biogeografi merupakan disiplin ilmu yang kemudian dapat menghubungkan fakta-fakta sejarah geologi yang dapat menjelaskan pola penyebaran mahluk hidup pada masa lalu.

 

Sekitar 180 juta tahun lalu dunia terdiri atas satu benua besar, Pangea, yang terbelah menjadi dua. Benua bagian utara disebut Laurasia meliputi: Amerika Utara, Eropa dan Asia (sampai ke timur, Sulawesi). Benua bagian selatan disebut Gondwana meliputi: Amerika Selatan, Afrika, India, Australia, Irianjaya dan Antartika. Saat benua maha besar ini terpisah dan bergerak menjauh, beberapa diantaranya memberi andil pembentukan gugus pulau Indonesia.

 

Kejadian besar geologi dunia adalah pengaruh biogeographi dari kepulauan Malay yang pecah menjadi dataran besar di selatan benua Gondwana secara progresif 140 juta tahun lalu. Saat itu tanaman berbunga diyakini telah mulai berkembang secara lambat di Gondwanaland ketika daratan ini mulai berpisah. Tumbuhan dan binatang dapat mencapai kepulauan Melayu  tanpa mengarungi lautan dengan satu dari 3 rute yang terkenal, Laurasia – Gandwanala melalui Australia atau Gondwana melalui India, diikuti migrasi dari selatan ke bagian utara.a

 

Pergerakan lempeng membantu menjelaskan perkembangan gugus pulau nusantara secara fisik, persebaran  gunung api dan pulau-pulau yang terbentuk. Terdapat serangkaian palung laut dalam dari arah tenggara Myanmar sepanjang pantai pesisir barat Sumatera dan Jawa melalui kepulauan Nusatenggara. Para ahli geologi memperluas batasnya kearah utara melalui Maluku hingga Sulawesi. Palung-palung ini menandai zona penujaman yang memaksa lempeng Indo-Australia, Pasifik dan Filipina bergerak ke bawah lempeng Eurasia. Dua busur cekungan bergerak sejajar menuju parit sepanjang Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara

 

Fakta penting dari teori plate tectonic drift ini adalah proses penggabungan daratan yang membentuk Sulawesi dan Papua, dimana bagian timur Indonesia merupakan salah satu zona yang secara geografis paling komplek di dunia karena merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar. Evolusi geografis di Indonesia timur itu diperkirakan terjadi dari retakan superbenua Gondwana yang berpisah dan hanyut bergerak ke utara selama 200 juta tahun. Diantara pulau-pulau di daerah ini, Sulawesi  merupakan kunci untuk memahami kompleksitas peristiwa tektonik itu.

 

         Ada beberapa pendapat terbentuknya Sulawesi. Salah satu pendapat menyebutkan bagian barat Sulawesi berpisah dari Gondwanaland sekitar 200 juta lalu. Bagian timur Sulawesi melepaskan diri dari Gondwana Australia (kini Papua Nugini) agak lebih lambat yaitu 90 juta tahun lalu dan kemudian kedua bertabrakan dan bersatu sekitar 15 juta tahun lalu. Tabrakan itu menyebabkan semenanjung barat daya berputar melawan arah jarum jam sehingga tercipta teluk Bone diantara bagian selatan dan tenggara Sulawesi serta mengakibatkan berputarnya semenanjung utara berputar 90 derajat arah jarum jam.  Pendapat lainnya mengatakan bagian barat Sulawesi bertabrakan dengan bagian timur Kalimantan sekitar 3 juta tahun lalu dan mengakibatkan tertutupnya selat makasar. Walau bukti tabrakan itu hingga kini belum lengkap, namun kontur dasar laut bagian timur Kalimantan cocok dengan bagian utara Sulawesib. Jadi Sulawesi terbentuk karena pergerakan dan benturan dan berbentuk tak beraturan seperti sekarang sejak 15 juta tahun lalu.

 

         Sementara daratan Papua diduga merupakan daratan yang bersatu dengan Australia dan oleh para ahli diperkirakan Papua sudah terpisah dari benua Asia sewaktu berbagai jenis binatang yang kini tersebar di benua itu belum berevolusi. Karena itu di Irianjaya kita dapati berbagai jenis binatang yang sudah kandas di benua Asia, tetapi masih hidup di Benua Australia, sehingga Brongersma yang menelitinya pada tahun1958, menyebutkan bahwa dunia fauna Irianjaya menunjukkan sifat yang khas.c

 

Penjelajahan ilmiah Alfred Wallace yang dilakukan pada 1854-1862 di perairan Nusantara,  membuktikan adanya perbedaan yang mendasar hidupan liar di kawasan Indonesia. Ia membaginya menjadi Garis Wallacea, yang secara imajiner garis itu membentang dari mulai dari selat Lombok ke arah selat Makasar,Sulawesi lalu membelok ke timur melewati sangihe dan Mindanaou yang masih wilayah Filipina. Kawasan di sekitar garis Wallace pun dikenal dengan nama  Kawasan Wallacea yang meliputi Nusatenggara (Lombok, Komodo, Flores, Sumba), Timor, Sulawesi dan Maluku Utara (Halmahera dan Aru).

 

 Ia menemukan bahwa mamalia di kepulauan Melayu terbagi garis imajiner Wallacea dalam dua kelompok. Species di sebelah barat garis Wallacea itu mempunya kedekatan dengan mamalia Asia, dan di sebelah Timur garis memiliki kedekatan dengan mamalia Australia (sejarah awal). Wallace juga mencatat perubahan ekologis yang dramatis di sepanjang Nusa Tenggara, khususnya di antara Pulau Bali dan Lombok. Menurutnya Selat Lombok yang memisahkan Lombok dan Bali merupakan pulau-pulau yang tiba-tiba memiliki begitu banyak dan sifat yang begitu mendasar sehingga membentuk suatu kesatuan penting di geografi zoology di dunia. Meski teori garis Wallace ada yang menentang, namun kepulauan di sebelah Timur Bali pada kenyataan menandai suatu kawasan perubahan antara daerah zoogeografi Indo-Melayu dan Astro-Melayu.  Penjelasan akan perbedaan flora-fauna Indonesia itu dapat diurai dari berjuta-jutra tahun lampau, ketika air Samudra Atlantik dan Pasifik tersedot ke Kutub Utara. Akibatnya air laut di sekitar Selat Malaka, Selat karimata dam laut Jawa mengering menjadi sebuah daratan yang disebut paparan Sunda. Paparan Sunda inilah yang diduga menjadi jembatan para fauna dari Asia (Malaysia, Vietnam dan Kamboja) dapat mencapai Pulau Jawa. Sementara itu, Sulawesi sudah berpisah dari Asia sejak lama, dan telah dihuni fauna yang hidup terasing.

 

Ratusan tahun kemudian, es di kutub Utara meleleh dan air laut pun pasang menenggelamkan Paparan Sunda sampai seperti sekarang ini, sehingga tak ada lagi fauna dari Asia yang datang ke Indonesia atau sebaliknya, kecuali yang mampu menyeberang lautan.

 

Di tempat terpisah, Australia dan Papua masih menyatu dengan Malay Archipelago, India Selatan, Afrika Tenggara, dan Amerika Selatan. Seratus juta tahun kemudian Australia terpisah dan kepulauan Maluku pun mengalami timbul tenggelam akibat pasang surutnya Laut Pasifik. Saat Laut Pasifik Kering, daratan juga menjadi jembatan fauna Australia untuk menggembara di Sulawesi dan Maluku. Namun saat laut pasang, mereka terpisah lagi dari Australia dan Papua. Pasang surutnya air laut di perairan Indonesia itu, membuat species faunanya di barat mirip fauna Asia, sementara yang di timur mirip spesies Australia. d

 

Geografis Kepulauan Indonesia

 

Satuan geografis Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu satuan geografis kepulauan atau daratan Sunda Besar yang terdiri pulau-pulau Sumtera, Jawa, Bali dan Kalimantan dan Sulawesi termasuk pulau-pulau kecil disekitarnya. Pulau-pulau itu kecuali Sulawesi terletak di Dataran Sunda, lempeng benua Asia di bawah laut. Satuan kedua, Kepulauan Sunda Kecil meliputi gugus pulau dari lombok hingga Timor yaitu Sumbawa, Sumba, Komodo, Flores, Alor, Sawu, dan Lembata.  Kepulauan Maluku atau sering disebut kepulauan rempah-rempah merupakan satuan ketiga terdiri dari atas Halmahera, Ternate, Tidore, Seram dan Ambon termasuk pulau-pulau kecil lainnya. Irian Jaya bagian barat New Guinea merupakan satuan keempat yang bersama Aru di Maluku dan benua Australia terletak di dataran Sahul.

 

Gugus pulau-pulau nusantara itu diperkirakan terbentuk pada 15 juta tahun lalu pada jaman Miosen Madya abad Tersier. Tubrukan itu juga membentuk jajaran gunung-gunung di Indonesia  sebagai akibat tabrakan antardaratan menyebabkan gangguan kerak bumi. Busur raksasa gunung api yang terentang ke araha selatan dan timur melalui Sumatera, Jawa, dan Kepulauan Sunda Kecil terletak sepanjang pinggir kepingan dengan sebagian permukaan buni terletak di bawah Samudra Hinda yang ditekan di bawah palung Sunda.

 

Keadaan lingkungan gugus pulau Indonesia termasuk dalam zona iklim khatulistiwa dengan suhu yang hampir tidak berubah. Namun karena letaknya di antara kawasan angin musim Asia dan daratan Australia yang dua pertiga gurun pasir, Indonesia dipengaruhi oleh angin musim dan angin pasat.

 

Secara geologis Indonesia dibentuk secara vulkanik dan non vulkanik saling berjalin.  Wilayah Indonesia memang berada di kegiatan sesmik paling aktif di dunia, tercatat 500 gempa bumi per tahun. Sementara ciri-ciri topografis menunjukkan perbedaan setempat yang mencolok  mengenai sifat tanah dan curah yang berkisar antara 712 – 4.156 mm pertahun. Hujan lebat seringkali menggenai dataran rendah, dan diperparah dengan kerusakan lingkungan yang parah, karena bencana alam seperti banjir juga diakibatkan karena campur tangan manusia. Sementara bencana alam berupa letusan gunung berapi yang aktif akan menyuburkan daerah di sekitar. Di daerah berbahaya serta daerah aliran sungai pada umumnya justru dipadati populasi penduduk.

 

Indonesia, Mozaik Keanekaragaman Hayati Dunia

 

Kesuburan alam Indonesia karena faktor geologis seperti letusan gunung dan lain sebagainya dan faktor biologis yaitu percampuran dan kekayaan species yang dimiliki merupakan sebuah jaringan kehidupan dalam ekosistem yang komplek dan saling berkait. Pola  penyebaran fauna, flora ketika terjadinya pembentukan gugusan pulau di Nusantara, termasuk pola evolusinya menjadikan Indonesia memiliki kekayaan hayati dan keragaman ekosistem yang sangat kaya. Letak geografis disepanjang garis khatulistiwa memberikan iklim yang ideal bagi pertumbuhan flora, fauna termasuk kegiatan budidaya di Indonesia seolah merupakan faktor yang membantu perkembangan kehidupan berbagai hidupan liar di tanah air ini.

 

Indonesia bersama Malaysia, Brunei, Filipina dan Nugini membentuk kawasan tetumbuhan yang disebut Malesia. Tetumbuhan kawasan ini sangat berbeda tajam dengan daerah sekitarnya. Kawasan Malesia Barat yang terdiri dari Sumatera dan Kalimantan misalnya, mempunyai jumlah marga tumbuhan lebih banyak [375 marga] di banding dengan tetumbuhan di semenanjung melayu [Singapura & Malaysia]. Begitu juga dengan kawasan timur Indonesia yang merupakan kawasan Malesia Timur memiliki 265 Marga meskipun hanya mencakup Sulawesi, maluku dan Papua, sedangkan makin kea rah Australia jumlah marga tetumbuhan mencapai 421. Perubahan seperti itu juga mencerminkan perubahan iklim, dari iklim lembab menjadi iklim bermusim.

 

Kekayaan jenis satwa Indonesia yang kaya memperlihatkan bahwa keanekaragaman hayati merupakan sebuah fakta ilmiah atas perkembangan, pertumbuhan species di gugus nusantara. Jumlah jenis mamalia Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia yaitu 515 jenis, peringkat pertama untuk kupu-kupu ekor burung (121 jenis), peringkat ketiga untuk reptil (lebih dari 600 jenis), peringkat keempat untuk burung (1.519 jenis), peringkat kelima untuk amfibi (270 jenis). Selain itu banyak pula jenis satwa endemis di Indonesia, yaitu diperkirakan mencapai 430 dari 2.5000 burung dan 200 dari 500 jenis mamalia. Sebaran satwa tadi tidaklah merata di seluruh kawasan Indonesia. Kalimantan, pulau terbesar yang memiliki hutan primer dataran rendah memiliki 48% dari 210 jenis mamalia dan 24% dari 240 jenis burung endemic. Irianjaya meme;iliki sedikit jenis mamalia dari Kalimantan, tetapi memiliki tingkat endemisitas sangat tinggi; 58% darin125 jenis mamalia dan 52% dari 602 jenis burung. Hutan hujan dataran rendah di jawa, Sulawesi, Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil relatif miskin satwa tetapi bukan termiskin jika disbanding dengan sebagian besar bagian dunia. Ciri menarik satwa Indonesia adalah tingkat endemisitas yang tinggi. Banyak kelompok satwa mengalami persebaran luar biasa karena tidak adanya oredator dan pesaing, misalnya tikus di Sulawesi, ikan pelangi di kawasan timur Indonesia, serta cendrawasih dan kupu-kupu sayap burung di IrianJaya.e

 

         Sementara itu keanekaragaman flora Indonesia juga tak kalah dimana hampir 10% jenis tumbuhan dunia terdapat di nusantara ini. Tetumbuhan ini melalui kemampuan fotosintesisnya telah memberi kontribusi pada satwa Indonesia di beraneka ekosistem yang tidak tergantikan. Dimulai dari tumbuhan tingkat rendah, jamur-jamuran diperkirakan berkisar 4.250 sampai 12.000 di luar 47.000 jenis perkiraan di dunia. Lumut dan lumut hati sekitar 3000 jenis dari 15.000 perkiraan di dunia. Paku-pakuan diperkirakan dimiliki Indonesia 4000 jenis atau mewakili seperempat jenis paku-pakuan di dunia. Tumbuhan berbiji diperkirakan 20.000 jenis, mewakili 8% jumlah yang ada di dunia. Suku tetumbuhan yang besar dimiliki Indonesia adalah anggrek-anggrekan yang mencapai 30.000 jenis. Daerah terkaya adalah hutan hujan primer dataran rendah Kalimantan, memiliki 34% dari 10.000 jenis tumbuhan berbiji endemic atau hanya ada di Indonesia. Jenis itu meliputi 158 dari 267 jenis tumbuhan dari suku meranti-merantian yang penting dalam perdagangan kayu. Sumatera dan Irian Jaya juga sangat kaya jenih tumbuhan, sedangkan hutan hutan di Jawa, Sulawesi, Maluku dan kepulauan Sunda relatif lebih sedikit walaupun tetap kaya bila disbanding dengan bagian lain di dunia.

 

         Kekayaan jenis ekosistem di Indonesia juga menunjukan bahwa jaringan kehidupan yang erat terjalin dari kehidupan gen, species, ekosistem yang tidak dapat dipisahkan. Tipe vegetasi dalam berbagai tipe ekosistem sangat dikendalikan oleh keadaan tanah, iklim dan ketinggian tempat, dan faktor itu yang membuat kekayaan ekosistem di Indonesia. Ragam tipe ekosistem di Indonesia misalnya : formasi hutan hujan dataran rendah [di Kalimantan, Papua], hutan basah air tawar [di tepian Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya],  hutan basah pesisir [ dimana Indonesia mempunyai hutan bakau terluas di dunia termasuk 14 taman rumput laut dari 50 jenis yang ada di dunia], hutan pegunungan [ada di hampir semua pulau nusantara dan terbanyak di Irianjaya],  vegetasi alpin atau hutan di ketinggian lebih dari 3.800 m dpl [di Irianjaya], hutan musim [di jawa timur, Bali barat, Nusatenggara, Maluku dan Irianjaya], hutan Sabana dan padang rumput [Nusatenggara]

 

Potret Pembangunan Indonesia

 

         Pertumbuhan daerah yang mengikuti pertumbuhan pusat-pusat ekonomi telah menyebabkan tergangguan ekosistem dan kerusakan sumberdaya lingkungan dalam berbagai tingkatan. Pulau Jawa dewasa ini menghadapi krisis daya dukung lingkungan yang besar. Kepadatan pendudukan dan terpusatnya pertumbuhan ekonomi di pulau Jawa, menyebabkan degradasi keanekragaman hayati dan ekosistem merosot tajam. Polusi udara, pencemaran di daerah pertanian dan pesisir karena pembukaan lahan pertanian tidak terkendali. Penurunan muka tanah, intersi air laut terjadi akibat pola pembangunan dan tidak tertibnya penggunaan ruang dalam tata kelola ruang hidup di Pulau Jawa.

 

       Kerusakan hutan tropis di Sumatera dan Kalimantan akibat penebangan liar dan praktek ekonomi kayu skala besar secara drmatis telah mengubah lansekap ekosistem hutan tropis kita menjadi kebun-kebun kelapa sawit dan lahan marjinal. Data dari situs Walhi, Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah mamalia, 16% spesies reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut sebesar 72 persen dengan kecepatan tinggi [World Resource Institute, 1997].  Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, dan  pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. Data-data terbaru soal kondisi hutan kita mungkin jauh lebih mengejutkan, bahkan Indonesia tercatat sebagai negara perusak hutan tropis tercepat di dunia sebagai dicatatkan oleh sebuah LSM Indonesia pada The Guiness Book of Records.

Konversi hutan tropis Indonesia terus berjalan seiring dengan kemudahan yang diperoleh perusahaan yang mengantongi ijin legal pembangunan kebun kelapa sawit. Industri kebun kelapa sawit mengkonversi tak kurang dari 19,8 juta ha untuk memberi tempat bertahta bagi tanaman introduksi yang sangat komersial itu.  Saat ini, hanya 6 juta ha lahan kelapa sawit yang produktif  atau beroperasi, sedangkan kurang lebih 14 juta ha tak jelas nasibnya, karena setelah kayu di dapat, lahan dibiarkan terlunta dan perkebunan tidak pernah dibangunf. Ancaman konversi hutan alami belum berhenti, karena pemerintah baru-baru ini merencanakan menambah areal kebun kelapa sawit baru seluas 1,8 juta di daerah perbatasan Kalimantan dan Sabah, Malaysiag. Dapat kita bayangkan berapa banyak lagi kita akan kehilangan keanekaragaman hayati di hutan tropis kita.

 

Laut dan pesisir tak kalah menderita, sudah sejak lama menjadi ruang terbuka untuk membuang sampah, mengeruk ikan habis-habisan dan tak terjaga dengan baik, sampai-sampai pulau kecil bisa berpindah tangan ke negara tetangga atau terlantar. Pulau-pulau yang disewakan atau diperjualbelikan sampai yang baru saja selesai didata dan diberi nama oleh pemerintah adalah potret buram lainnya.

 

Dari Keberagaman ke Sistem Monokultur

 

Keanekaragaman hayati yang dianugerahkan Tuhan pada bumi Indonesia telah melahirkan beragam budaya termasuk kekayaan kearifan masyarakat mengelola ruang hidupnya di lingkungan masing-masing. Upaya penyeragaman dan penyederhanaan dalam pembangunan adalah suatu bencana sosial bagi kehidupan yang penuh keberagaman, tak lain adalah pengingkaran jati diri bangsa Indonesia itu sendiri.

 

Tujuan pembangunan dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan ekonomi semata seringkali mengalahkan prikehidupan bermacam budaya, kepentingan satu kelompok serta secara sistematis mengarahkan pada penyeragaman. Hutan tropis, tempat keanekaragaman hayati dengan mudah, atas nama pembangunan, dapat disingkirkan diganti perkebunan berisi satu komoditi saja seperti kelapa sawit, akasia mangium dan komoditi lainnya. Pertanian padi yang didorong sistem politik pangan monokultur telah menyingkirkan sumber pangan lainnya umbi dan empon-empon dari tanah petani. Pembangunan perkebunan dan pertanian bukan tidak penting, tapi perlu dihindari jatuhnya korban seperti  kehilangan species, ekosistem tempatnya bergantung hidup, dan akhirnya punahnya budaya yang menjadi ekspresi jati diri masyarakat terkait pengelolaan hajat hidupnya di pelosok nusantara.

 

         Yang kita saksikan sekarang ini adalah sebuah kegagalan pembangunan Indonesia seutuhnya. Tujuan pembangunan sejatinya adalah untuk menyejahteraan masyarakat. Mekanisme pasar yang dibangun justru hanya dinikmati oleh segelintir orang saja seperti kenyataan semakin banyak tempat berbelanja sekelas mal-mal justru seringkali mengusur kepentingan pedagang kaki lima, pasar tradisional. Bahkan seringkali ruang hijau publik yang dikorbankan demi pembangunan akhirnya menjadi kubang banjir kota-kota yang terus tumbuh.

 

         Kegagalan pasar yang terjadi didorong oleh kegagalan komunikasi politik yang sangat dipengaruhi kegagalan pemerintah dalam mengakomodir beragam aliran budaya dan nilai-nilai tradisi masyarakat dan kepentingan hajat hidup yang beragam, sehingga selalu ada bagian dari masyarakat dan ruang hidupnya (termasuk habitat, ekosistem) menjadi korban pembangunan itu sendiri. Terakumulasinya kegagalan seperti itu akan mencederai nilai-nilai yang ada di masyarakat. Namun values dalam masyarakat sebenarnya memiliki kelentingan tersendiri, sehingga ia terus hidup dan masih dipegang teguh oleh komunitas-komunitas tertentu, sebut saja misalnya, masyarakat adat yang hingga kini hidup sederhana dan selaras alam lingkungan hidupnya. Sebaliknya masyarakat, terutama elite yang sudah tidak peduli lagi berpegang dan bersandar dari hakikat keberagaman Indonesia lambat laun akan membunuh jatidiri bangsa ini.

 

         Proses pembentukan gugus nusantara dan isinya adalah hukum alam (sunnatullah) yang tak perlu diperdebatkan, karena ilmu pengetahuan telah membantu kita memahami proses-proses yang berlangsung. Memahami proses pembangunan yang terjadi diatasnya selama ini diperlukan keberanian, untuk mengungkap kesalahan yang terjadi dan lalu memperbaikinya. Dari situlah sebaiknya kita berusaha memahami keberagaman Indonesia sebagai bangsa. [*]


Kedele, Tempe dan Harga Diri Bangsa

 

 

Awal tahun 2008 ditandai dengan melonjaknya harga kedele dan bahan pangan lainnya. Harga kedele melambung dari Rp. 3.000/kg hingga Rp 7000/kg. Merasa senasib, pengrajin tempe dan tahu yang menggeliat ditindas lonjakan harga itu ramai-ramai memprotes pemerintah. Tak terkecuali, konsumen, petani dan lainnya menyuarakan keprihatinan ini dalam berbagai liputan media. Sementara, Pemerintah tidak bingung sebenarnya, karena mudah saja solusinya. Beri subsidi sambil menjelaskan mengapa harga kedele yang diimpornya naik di pasar dunia. Namun hingga Maret 2008, subsidi kedele yang dijanjikan pemerintah tak kunjung tiba. Pengrajin tahu-tempe terus menagihnya. Nasib pertanian kedele lokal kita tetap tidak tersentuh, impor jalan terus dan konsumen kembali harus menanggung harga bahan pangan yang kian melambung itu. Di sudut kota  lainnya ada berita pejual gorengan tahu-tempe yang nekat bunuh diri karena tak kuat lagi menanggung derita akibat harga kedele yang melambung tak menguntungkan usahanya. Kisah duka itu sesungguhnya mewakili cerita ironis masyarakat lainnya yang terkena dampak seputar kenaikan harga pangan. Begitu rentannya stok dan keberadaan bahan pangan kita di negeri agraris yang subur ini, seolah tertangani oleh pemerintahan Orde Reformasi.   Di situlah sebenarnya harga diri bangsa ini digadaikan.

 

Tulisan ini dimaksud untuk mengetahui seluk-beluk perkedelean di Nusantara. Penulis berharap melalui tulisan ini kita bisa menemukan kembali semangat untuk membangun kembali kekuatan agraris kita, mewujudkan kedaulatan petani dan merebut kembali harga diri bangsa yang telah lama hilang.

 

Sejarah Kedele di Dunia

 

Kedele [Glycine max] termasuk tanaman pangan tertua yang dibudidaya manusia. Ahli sejarah percaya, penanaman pertama kedele dilakukan di Asia Timur 5000 tahun yang lalu. Kedele bagi masyarakat Cina adalah tanaman pangan penting dan merupakan satu dari lima benih yang disakralkan. Kedele masuk ke Eropa selama kurun waktu 1700-an dan  ditanam ektensif pada tahun 1900-an termasuk di Amerika untuk pakan ternak. Sejak 1911 kedele pertama kali diolah menjadi makanan dan minyak. Pertanian kedele berkembang pada pertengahan 1930 ketika pupuk digunakan intensif. Pada 1941 penggunaan kedele meluas sebagai bahan pangan dan persediaan pangan. Saat ini, Amerika memiliki pertanian terbesar kedele dibandingkan negara lain. Negara produksi kedele penting lainnya adalah Argentina, Brasil dan Cina. Illinois dan Iowa adalah dua negara bagian di Amerika yang kini merajai pertanian kedele di negara itu, disusul Ontario di Kanada.

 

Kedele sangat bernilai bagi pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Potensinya pada luas tanam 0,4 ha dapat menghasilkan protein sepuluh kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan sapi yang dipelihara pada luas lahan yang sama atau masih lebih tinggi proteinnya dibandingkan tanaman sayur atau kacang-kacang. Saat ini semakin banyak orang paham nilai protein dari kedele dan mengkonsumsinya. Disamping itu pengembangan kedele mempunyai nilai efisiensi dalam pemanfaatan lahan. [World book 2005]

 

Di Jawa Timur pertanian kedele sangat penting karena menyumbang  sekitar 31% terhadap kebutuhan nasional. Di Nganjuk, kedele ditanam sebagian besar di lahan sawah sebagai tanaman palawija pada MK II setelah padi gadu dengan luas areal tanaman per tahun mencapai 18.290 ha dan menghasilkan total produksi 27.873,96 ton biji kering atau rata-rata 1,52 t/ha. Produksi kedele tahun 1999 di Jombang mencapai 24,966 ton dengan luas areal panen 20.265 ha [BPS 1998] dengan produksi rata-rata 1,32 t/ha. Hasil ini masih tinggi dibanding produksi nasional 1,02 t/ha [Adi Sarwanto, 1996]. Sementara itu varietas kedele hitam lokal dengan tehnik budidaya baik di Jogjakarta dan Jawa Timur yang diawasi oleh sarjana pertanian UGM mampu mencapai 2,5 t/ha.

 

Merunut buyut kedele di Tanah Jawa

 

Indonesia mengenal dua jenis kedele yaitu, Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang Selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara1. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kedele kuning [G. max] diperkirakan berasal dari kedele hitam [G.soja] yang dahulu dianggap jenis liar [ Hidayat, 1985]

 

Keberadaan kedele di Indonesia tercatat dalam teks Sri Tanjung, (teks kuno abad ke-16 yang bercerita tentang asal-usul Kota Banyuwangi yang ditulis ulang oleh Prijono dari naskah lontar Een Oun JavaaschVerhaal). Pada pupuh 5, bait 59 disebutkan bahwa kedele salah satu yang dibudidayakan masyarakat, termasuk di kebun seorang pertapa. Diceritakan sebuah kebun yang indah penuh dengan tanaman, seperti kedele, kacang hijau, tebu, dan berbagai jenis ubi. Kedele diperkirakan sudah biasa dibudidayakan di Jawa pada masa Kerajaan Mataram. Dalam Serat Centhini naskah Jawa kuno abad ke-18 (Bab 3 dan Bab 12), ditemukan kata tempe, makanan khas Jawa yang dibuat dari kedele. Naskah tersebut menyebutkan berbagai hidangan antara lain jae santen tempe (tempe yang dimasak dengan santan kelapa) dan kedhele tempe srundengan (parutan kelapa goreng dengan kedele hitam). Hal ini menunjukkan bahwa makanan dari biji kedele telah menjadi bagian dari kuliner di Jawa pada abad ke-18. Bahkan catatan ini memberikan rujukan awal bahwa di Jawa juga berkembang teknologi pengolahan pangan melalui proses fermentasi seperti disebutkannya tempe (Subekti,2006).

 

Dalam tradisi Jawa, kedudukan kedele sangat penting, terutama kedele hitam sebagai bagian dari ritual lingkar kehidupan. Ritual kelahiran, kematian dan penyambutan panen diupacarai dengan menghadirkan kedele dalam sajian selamatan.Tempe sendiri melambung namanya setelah Jepang mematenkan inovasi teknologi fermentasi kedele, yang sempat menyulut protes soal hak tempe paten di tanah air pada 1990-an.

 

Kedele dalam peta perdagangan dan pertanian Indonesia

 

Membuka impor seluas-luasnya sepertinya menjadi pilihan pemerintah  untuk memenuhi kebutuhan kedele dalam negeri. Konsep ketahanan pangan yang seharusnya  berbasis pada kekuatan sumber dalam negeri tidak dibangun dengan kokoh. Jadilah, ketergantungan impor komoditi  kedele (dan juga beras, gandum, jagung, gula pasir)

 

Kebutuhan kedele  dalam negeri cenderung terus meningkat. Tahun 1989 impor kedele masih di bawah 400.000 ton dan pada tahun 1996, melonjak mendekati 800.000 ton atau meningkat 100%. Lima tahun belakangan, impor kedele rata-rata telah mencapai 1,2 juta ton setara dengan 60 persen kebutuhan nasional. Diperkirakan Indonesia kehilangan pendapatan devisa sekitar Rp 3 triliun setiap tahunnya karena ketergantungan sangat tinggi terhadap kedele impor sementar produksi kedele lokal dalam negeri hanya mampu menghasilkan sekitar 800 ribu ton per tahun dan memasok 40 persen dari total kebutuhan nasional. Tataniaga kedele impor Indonesia dikuasai mafia asal Malaysia dan Singapura. Mereka mengendalikan pasokan dan harga kedele impor yang dimasukkan ke Indonesia agar selalu lebih kompetitif terhadap kedele produksi lokal. Pada saat petani (kedele lokal) panen, mereka sengaja menjatuhkan harga kedele lokal dengan melepas harga kedele impor lebih rendah. Mereka selalu merekayasa agar harga kedele impor di bawah harga kedele lokal.Tahun 2005 sampai 2010 kebutuhan konsumsi kedele diperkirakan naik sekitar 2,5 persen setiap tahunnya untuk kebutuhan industri tempe, tahu dan susu kedele. Posisi tawar Indonesia yang semakin lemah dalam perjanjian perdagangan bebas dunia WTO. Indonesia sejak tahun 1998 harus membuka pasar domestiknya terhadap masuknya kedele impor. Faktor lainnya, adanya pemberian kemudahan tataniaga impor kedele berupa dokumen letter of credit (L/C) mundur, subsidi negara produsen kedele seperti Amerika terhadap petani dalam negeri2

Perkembangan varietas unggul kedele di Indonesia

 

Dalam sejarah pengembangan kedele di Indonesia, pemerintah telah mengupayakan pengembangan varietas unggul kedele. Pada jaman kolonial dan sebelum masa Orde Baru, tercatat 8 varietas dilepas. Setelah masa itu, telah dilepas tak kurang 50 varietas termasuk Mallika jenis kedele hitam lokal yang dilepas tahun 2007.  Data dari Balai Penelitian Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian [Balitkabi] diketahui kita memiliki 4 varietas kedele hitam dan sisanya 51 varietas kedele kuning. Umumnya varietas kedele yang dilepas menggunakan gunung-gunung yang ada di nusantara, sebut saja varietas wilis, sindoro, pangrango, galunggung dll.

 

Pengembangan varietas unggul selain ditujukan untuk peningkatan produktivitas, juga dimaksudkan untuk mendapatkan benih yang mampu beradaptasi dengan agroekosistem yang beraneka pula terbentang dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan tingkat pertumbuhan  penanaman kedele dengan areal tanam sekitar 1,5 juta ha setiap tahun, kedele ditanam tersebar di pulau jawa [56%], Sumatera [26%]. Sulawesi [7%], Bali dan Nusa Tenggara [9%0], Kalimantan [1%] dan Maluku dan Irian Jaya [1%] (Munawan et al, 1991).

 

Namun begitu keberadaannya belum menjawab tantangan serta kendala produksi yang dihadapi di lapangan. rekomendasi teknologi masih bersifat umum dan belum didasarkan pada kondisi agroekosistem yang lebih komprehensif. Teknologi-teknologi yang lebih spesifik sangat diperlukan untuk mencapai tingkat produksi yang optimal dengan tingkat masukan yang lebih efisien perlu terus diupayakan melalui pengkajian dan penelitian untuk menemukan varietas baru yang unggul. Belum lagi persoalan produksi benih kedele dan distribusinya. Umumnya industri benih tidak tertarik mengembangkan kedele karena pengelolaannya rumit, dan keuntungannya sedikit. Sebagai perbandingan benih padi dapat disimpan hingga 6 bulan sebelum disemai, sedangkan kedele hanya bertahan 3 bulan. Padahal setelah panen masih dibutuhkan waktu untuk sortir biji yang masih dilakukan secara manual serta membutuhkan beberapa tahap uji  mutu benih sebelum didistribusikan ke pasar. Diperlukan pengorganisasian yang kuat dan dukungan teknologi dalam manajemen benih sehingga mampu menghindari resiko kerugian. Hal itu merupakan salah satu penyebab tidak banyaknya distributor benih kedele di tanah air.

 

Eat Locally, Think Globally

 

 Tahu dan tempe yang kita konsumsi sejak anak-anak hingga kini terpilih karena latarbelakang budaya yang kuat dan harga yang terjangkau. Itulah potret jati diri kita sesungguhnya. Namun karena panganan itu selalu hadir dalam keseharian kita, lidah kita yang termanjakan sesunggguhnya telah terjajah dan kita bagai tak berdaya ketika tempe mulai digantikan kedele impor. Makanan rakyat seharusnya tidak berbahan impor dan justru semestinya ditopang seluruhnya dari kedele lokal dari lahan-lahan petani kita. Keterkaitan jejaring petani kedele (produsen) dan keberadaan pengrajin tempe, tahu dan industri makanan dan masyarakat (konsumen) sebenarnya merupakan kekuatan riil tulang punggung ekonomi yang bisa diandalkan bila tatakuasa, tatakelola dan tataproduksi dalam pembangunan pertanian kita sungguh-sungguh diarahkan pada pencapaian kedaulatan pangan dan petani. Lebih dari itu budidaya kedele lokal bisa menjadi kekuatan melawan arus globalisasi bila didukung kemauan politik pemerintah. Meminjam istilah Samsoed Sadjad, Guru Besar IPB, “benih adalah agen perubahan dan pembangunan” mestinya disitu ada politik pangan yang berpihak kepentingan nasional. Bila kemauan politik seperti itu bisa diwujudkan pemerintah, maka makan tempe, tahu bukan cuma perkara biasa, tetapi bisa jadi pilihan ideologis  mengkonsumsi pangan lokal sebagai bagian dari solideritas nasional dari jejaring konsumen dan untuk lepas dari cengkeraman kapitalis global.

 

Harapan pada akhirnya digantungkan pada pertanian kita. Mampukah pemerintah mendorong pengembangan produksi kedele dan bahan pangan penting lainnya beras, jagung, tepung berbahan singkong dan sagu agar terhindar dari arus global yang makin menggila melindas kita dan para petani. Menanam kedele lokal untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri sama artinya dengan mencegah kaburnya pendapatan devisa negara. Kedaulatan pangan tidak saja harus diperjuangkan, tetapi juga harus direbut karena ia adalah harga diri bangsa yang telah lama hilang.[*]

 

 

 

 

 

 

 



1 The fact of kelapa sawit, Hebarium Bogor

2 Jhr.Dr.Ir.F.C. van Heurn dalam terjemahan Kelapa Sawit 1948

 

3 Komunikasi pribadi dengan Abet Nego, Deputy Sawit Watch

4 Buletin Tanda Sawit, halaman 3 : Vol 1, tahun 2006

5 Hasil analisis beberapa data seperti Makalah Derom Bangun, ketua GAPKI dan Makalah Komisi Sawit

6 Perpres 5/2006

7 Info sheet Perkumpulan Sawit Watch, November 2005

 

[1] Laporan BOS

[2] Liputan enam Petang, 27 Agustus 2006

[3] Siaran Pers Wahli, 29 Agustus 2006

[4] Fire Bulletin, Agustus 2006

[5] Info sheet Perkumpulan Sawit Watch, November 2005

[6] Kutipan dari penelitian Bintang C. Simangunsong: Nilai Ekonomi Hutan Produksi Indonesia

[7] Badan Planologi Kehutanan, 2003

a Diambil dari Buku Hutan Hutan Tropis Asia Jauh,….

 

b Diambil dari  Buku Indonesia Heritage: Manusia dan Lingkungan, 2002

c Disarikan dari Buku IrianJaya, Koentjoroningrat, 1993

d Dikutip dari Majalah Burung, edisi Juli 2006, terbitan Birdlife Indonesia

e Diambil dari Buku Indonesian Herritage: Margasatwa, 2002

f Komunikasi pribadi dengan Abet Nego, Deputy Sawit Watch

g Buletin Tanda Sawit, halaman 3 : Vol 1, tahun 2006

1 wikipedia

2 Sumber Harian Tribun Timur : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoesa mengatakan hal itu pada diskusi membedah kebijakan impor kedelai di DPR, Jakarta, Rabu (20/6/2007).

About me

Rio R. Bunet
Penyuka jalan-jalan, naik kereta dan sepeda pancal, bertaman dan berkebun... dan meneropong benda langit..